Pengamat Keamanan Siber Kritik Mahfud MD yang Sebut Misinformasi Tidak Berbahaya

Ilustrasi | Foto: freepik.com

Cyberthreat.id – Ketua Indonesia Cyber Security Forum Ardi Sutedja K mengkritik pernyataan Menteri Polhukam Mahfud MD yang menyebut bahwa misinformasi tidak terlalu berbahaya dibandingkan dengan ancaman pembunuhan di media sosial.

Menurut Ardi, misinformasi atau berita palsu juga harusnya dianggap berbahaya, bukan tidak terlalu berbahaya. "Menurut saya beliau [Mahfud] keliru," ujarnya ketika berbincang dengan Cyberthreat.id, Rabu (30 Desember 2020).

Ardi menganggap bahaya dari penyebaran berita palsu lantaran “para produsennya” bukan sekadar iseng lagi, tetapi sudah ada unsur rekayasa untuk tujuan tertentu.

Hoaks kini dijadikan senjata untuk membentuk opini publik dengan berbagai narasi yang keliru, ujar dia. Makanya, ada muncul istilah yang disebut sebagai “Weaponizing Information” (Informasi yang telah Dipersenjatai) atau konten beracun.

"Hoaks tidak lagi bisa dianggap remeh karena sudah bagian dari perang propaganda dan psikologi abad modern," kata Ardi.

Dampaknya, bisa merusak  baik fisik maupun psikologis yang tidak bisa diperbaiki. Sejumlah kejadian di dalam dan luar negeri pernah terjadi karena berasal dari berita palsu atau misinformasi.

Di Indonesia, Ardi mencontohkan kejadian penyerangan Polsek Ciracas di Jakarta Timur oleh sebagian oknum TNI juga dipicu hoaks yang diterima mereka. Selama pandemi Covid-19, muncul pula hoaks mengenai thermo gun yang diarahkan ke dahi karena dikabarkan dapat merusak jaringan otak—akibatnya banyak enggan diukur suhunya. Masih banyak contoh lainnya yang berawal dari berita palsu sehingga berdampak di dunia nyata.

Mengapa orang begitu mudah menyebarkan hoaks, menurut dia, penyebabnya adalah literasi digital yang lemah. "Edukasi masyarakat jauh lebih penting untuk mengurangi jumlah orang-orang yang menjadi penyebar hoaks," ujarnya.

Sebelumnya, Mahfud MD mengatakan misinformasi disebarkan oleh sekelompok orang yang menganggap “apa pun yang dilakukan pemerintah serba salah”. Mereka sejak dari dulu sudah ada, tetapi tidak terlalu kuat.

“Sekarang kan [mereka] didukung oleh media sosial yang  begitu masif," ujarnya dalam acara sedaring Dewan Pakar KAHMI, Minggu (27 Desember 2020).

Oleh karenanya, ia berpendapat bahwa saat ini perlu mengaktifkan lagi polisi siber untuk menindaklanjuti orang-orang yang menyebar ancaman di dunia maya.

Polisi siber di Indonesia, kata Mahfud, sekarang telah memiliki alat yang dapat memburu pelaku yang menyebarkan ancaman, misal, pembunuhan di dunia maya.[]

Redaktur: Andi Nugroho