Inilah Gateform CO2, Printer 3D dengan Teknologi 4.0

Gateform CO2 beserta hasil produk 3D-nya yang ditampilkan di Auditorium Utama Kementerian Perdagangan RI, Rabu (26/06/2019) | Foto: Arif Rahman

Jakarta, Cyberthreat.id - Gateform CO2 berhasil menjadi salah satu pemenang Good Design Indonesia (GDI) 2019 di kategori Information and Communication Technologies (ICT). 

Gateform CO2 adalah printer 3D yang menggunakan teknologi 4.0 dan sangat terkait dengan koneksi internet serta perangkat Internet of Things (IoT) dalam penggunaannya.

Gateform CO2 bisa disebut pencetak tiga dimensi yang dikenal secara global sebagai additive manufacturing. Dunia atau banyak perusahaan besar kini mengacu pada manufaktur additive atau tambahan yang artinya menambahkan material dari layer ke layer.

Pencipta Gateform CO2, Tri Mulyadi, mengatakan Revolusi Industri 4.0 ditandai dengan pembuatan produk dalam skala besar disertai berbagai variasi desain. Ini persis dengan mekanisme Gateform CO2 yang telah mencetak berbagai produk mulai dari gelas, piring serta barang tiruan lainnya.

"Jadi, pengembangan mesin ini ke depan adalah setiap orang dapat mencetak desainnya di 3D printer yang terhubung dengan koneksi internet," kata Tri kepada Cyberthreat.id usai meraih penghargaan GDI 2019 di Kementerian Perdagangan RI, Jakarta, Rabu (26 Juni 2019).

Tri menciptakan Gateform CO2 bersama dua rekannya Azis Fajar Riyadi dan Pulung Bayu Setyadarma. Hingga kini produk buatan PT Centra Teknologi Indonesia ini telah dipasarkan terbatas di beberapa daerah meskipun belum diproduksi secara massal.

"Dengan internet dan IoT, Gateform CO2 menghemat waktu dan biaya dalam mencetak sesuatu. Kita tidak perlu lagi menunggu orderan atau menunggu barang dicetak di manufaktur, karena ketika konsumen datang, barang dicetak dan langsung jadi. 

Belum Ada Kerentanan

Tri mengatakan saat ini masih belum ada kerentanan terhadap Gateform CO2. Masalah yang dihadapi sejauh ini adalah akurasi dan ketepatan settingan seperti mengatur kecepatan, keluar masuk filamen dan sebagainya.

"Kalau sekarang belum ada (kerentanan), tapi saya yakin pasti nanti ada karena memang tidak ada aman dalam IoT. Yang jelas mesin ini masih sangat fleksibel dan itu tergantung pemegangnya," ujar Tri.

Otak 3D dan Riset Medis

Tri bersama kedua rekannya telah mengikat kerja sama dengan Rumah Sakit Universitas Gadjah Mada (UGM) mengembangkan Gateform CO2 untuk keperluan riset dan medis. 

Jika selama ini printer 3D miliknya mencetak barang-barang kebutuhan sehari-hari sampai keperluan industri, maka kerja sama dengan RS UGM bertujuan mencetak organ manusia.

Misalnya Gateform CO2 dalam beberapa waktu ke depan ditargetkan mencetak otak manusia berbahan plastik. Dengan kemajuan teknologi IT dan algoritma, otak bisa dicetak semirip mungkin dengan keadaan asli si pasien yang sedang menderita sakit misalnya tumor.

"Sehingga bisa dilihat kerusakan otak atau sakitnya dimana. Nah, otak 3D ini digunakan dokter untuk melakukan analisis sebelum operasi. Kemudian setelah terkumpul data dan informasi baru diambil tindakan operasi," ujar Tri.

Bersaing ke Jepang

Dirjen Pengembangan Ekspor Kementerian Perdagangan RI, Arlinda, mengatakan semua pemenang GDI 2019 akan dibawa ke Jepang untuk bersaing dengan produk lainnya di dunia.

Produk pemenang juga akan ditampilkan pada Trade Expo Indonesia (TEI) ke-34 di Indonesia Convention dan Exhibition (ICE) BSD Serpong, Tangerang, Banten 16-20 Oktober 2019.

"Target kita adalah bagaimana produk ini bisa di ekspor atau market oriented," kata Arlinda usai penghargaan GDI 2019.

Ia berharap keunggulan Indonesia untuk Gateform CO2 berada di persaingan harga karena produk serupa juga telah diciptakan negara lain seperti China dan Amerika Serikat. 

Azis Fajar Riyadi sepakat dengan Arlinda. Ia mengatakan mesin ini bisa bersaing dari dua sisi yakni fungsi dan harga. Gateform CO2, kata Azis, punya banyak fungsi dan fitur lebih maju dalam kinerjanya. Namun, fitur dan fungsi itu disesuaikan dengan harga di Indonesia. 

"Memang produksi skala besar kita masih kalah. Misalnya AS punya Silicon Valley dan China punya Shenzen. Nah Indonesia belum punya semacam Silicon Valley untuk pengembangan lebih besar dan produksi massal," kata Azis.