Yang Perlu Diperhatikan sebelum Lapor Kejahatan Siber ke Polisi, Ini Saran Ahli Forensik Digital

Ilustrasi | Foto: freepik.com

Cyberthreat.id – Ketika Anda mengalami serangan siber atau menjadi korban kejahatan siber, idealnya memang segera melaporkan diri ke penegak hukum. Namun, tak semua korban mau melaporkan diri karena sejumlah alasan. (Baca: Korban Kejahatan Siber Cenderung Enggan Lapor ke Polisi, Ini Alasannya)

Jika memang ingin melaporkan kasusnya kepada aparat berwajib, pakar memberikan sejumlah saran. Pertama-tama korban harus memperjelas kasus yang sedang menimpanya.

Pastikan bahwa insiden tersebut benar-benar mengandung unsur pidana atau perdata. Pasalnya, jika tidak jelas unsurnya, akan sulit untuk ditindaklanjuti oleh pihak berwenang.

“Sulit untuk ditindaklanjuti karena tidak jelas pelanggaran atau larangan apa yang dilanggarnya,” ujar Kepala Pusat Studi Forensika Digital Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Yudi Prayudi kepada Cyberthreat.id, Kamis (10 Desember 2020).

Ketika ada tindakan pencurian data, misalnya, maka harus jelas perbuatannya, terkait unsur perbuatan yang dilanggar apa, korban siapa, objeknya apa, serta pasal rujukan untuk pidana atau perdatanya apa.

Oleh karenanya, ia menganjurkan agar masyarakat juga perlu memahami hukum yang berlaku sehingga ketika ingin melaporkan kejahatan siber itu sudah tahu pasal rujukan pidana atau perdatanya.

Yudi mengatakan pelapor perlu juga menyiapkan fakta dan data yang menjadi acuan laporan terkait tindakan pidana atau perdata itu.

Contoh, ketika terjadi pencurian data dan korban mendapatkan ancaman dari orang lain, bukti awal laporan ke polisi bisa berdasarkan tangkapan layar (screenshot) dari percakapan di ponsel pintar.

“Bukti berikutnya diserahkan pada aparat untuk mengembangkannya sesuai dengan persangkaan dan perbuatan dari pasal yang dilanggarnya,” ujarnya.

Hanya, kata dia, selanjutnya korban sebaiknya menambah bukti-bukti lain yang bisa disangkakan kepada pelaku, misal alamat email, history chat, atau history call.

“Bukti awal ini harus dijaga sebaik-baiknya. Jangan sampai hilang karena akan menjadi bagian dari penyelidikan aparat,” ujarnya.

Setelah bukti-bukti dianggap cukup oleh aparat, aparat akan menganalisisnya lebih lanjut dengan para ahli terkait, dalam hal ini ahli forensik digital. Proses analisis ini dipakai untuk dijadikan bagian dari alat bukti yang menguatkan saat persidangan.

Dalam proses analisis tersebut, ponsel korban akan diminta aparat demi kelancaran proses investigasi. Pada bagian inilah, kata Yudi, terkadang korban kurang bisa diajak bekerja sama dengan baik.

“Kadang korban sendiri tidak mau kooperatif dengan tidak mau menyerahkan HP atau alat elektroniknya. Ini akan menghambat proses investigasi,” ujarnya.

Kondisi itu pula yang, menurut Yudi, menjadi alasan sebagian masyarakat "malas" melaporkan kejahatan siber kepada kepolisian.

Di situs web polri (patrolisiber.id) disebutkan, kejahatan siber yang ditangani polisi terbagi dalam dua kategori yaitu computer crime dan computer-related crime.

Computer crime merupakan kejahatan siber menggunakan komputer sebagai alat utama. Bentuk kejahatannya seperti peretasan sistem elektronik (hacking), intersepsi ilegal, pengubahan tampilan situs web, gangguan sistem, manipulasi data.

Sementara, computer-related crime ialah kejahatan siber menggunakan komputer sebagai alat bantu, seperti pornografi dalam jaringan, perjudian dalam jaringan, pencemaran nama baik, pemerasan dalam jaringan, penipuan dalam jaringan, ujaran kebencian, pengancaman dalam jaringan, akses ilegal, pencurian data.[]

Redaktur: Andi Nugroho