Kelompok Hak Sipil Amerika Desak Pemerintahnya Transparan Soal Data Lokasi Pengguna Muslim Pro
Cyberthreat.id - Kelompok hak asasi American Civil Liberties Union (ACLU) menuntut transparansi pemerintah Amerika Serikat atas pembelian data lokasi pengguna aplikasi ponsel, termasuk milik pengguna MuslimPro.
"Kami menuntut pemerintah menyerahkan semua catatan tentang pembelian dan penggunaan data lokasi ponsel oleh militer pada pengguna aplikasi Muslim," tulis ACLU melalui Twitter, pada Kamis (3 Desember 2020).
Dikutip dari NowThis, permintaan ACLU ini menyusul laporan Motherboard beberapa waktu lalu yang mengungkapkan bahwa data termasuk dari aplikasi yang digunakan oleh hampir 100 juta muslim di seluruh dunia, Muslim Pro dijual ke militer AS.
ACLU menilai kegiatan itu melanggar putusan Mahkamah Agung 2018 yang mana lembaga penegak hukum tidak dapat memperoleh informasi lokasi ponsel tanpa surat izin menggeledah.
“Ini adalah pengkhianatan kepercayaan lain bagi komunitas yang telah lama menjadi sasaran praktik pengawasan inkonstitusional dan mengganggu oleh pemerintah AS dan oleh penegak hukum setempat,” kata Ashley Gorski, staf pengacara di Proyek Keamanan Nasional ACLU.
ACLU bersama Akuntabilitas & Tanggung Jawab Penegakan Hukum (CLEAR) di City University of New York (CUNY) meminta catatan terkait pembelian data lokasi ponsel dengan menyoroti Undang-Undang Kebebasan Informasi (Freedom of Information Act/FOIA) setempat.
ACLU dan CLEAR mengajukan permintaan untuk catatan yang berasal dari tahun 2017 dari 10 lembaga pemerintah termasuk Komando Operasi Spesial AS yang muncul dalam laporan Motherboard, Departemen Kehakiman, Badan Keamanan Nasional, dan berbagai pasukan militer.
Informasi yang diminta ACLU itu terkait dengan kontrak dan perjanjian antara agensi dan perusahaan teknologi seperti X-Mode yang menjual data lokasi MuslimPro, Locate X yang menjual data kepada lembaga pemerintah, dan Babel Street penyedia Locate X, serta Anomaly Six dan Venntel yang menjual data lokasi telepon.
ACLU berpendapat kegiatan yang dilakukan agensi atau lembaga pemerintah AS itu melanggar Amandemen Keempat yang melindungi masyarakat dari pengumpulan lokasi ponsel yang tidak sewajarnya. Pasalnya, kata ACLU, pada 2018 Mahkamah Agung menyatakan pemerintah harus mendapatkan surat perintah dari pengadilan untuk mendapatkan riwayat lokasi ponsel.
"Dengan membeli semua informasi ini, tampaknya militer AS dan agen federal lainnya benar-benar mencoba untuk menghindari perlindungan inti Amandemen Keempat," kata Gorski kepada NowThis.
ACLU bertujuan meminta transparansi dari pemerintah AS untuk memahami bagaimana data dikumpulkan dan bagaimana Muslim menjadi sasaran.
"Benar-benar ada sesuatu yang baru di sini," kata Gorski. “Pengungkapan terbaru [tentang Muslim Pro] ini sangat penting untuk menggambarkan ruang lingkup masalah.”
Gorski mengatakan penjualan data lokasi pengguna MuslimPro itu melanggar hak konstitusional untuk mempraktikkan agama dengan bebas.
Profesor dan penasihat hukum di CLEAR, Tarek Ismail mengatakan bahwa kaum Muslim telah dimata-matai atau berada di bawah pengawasan jauh sebelum adanya berita terkait penjualan data lokasi ini.
“Seolah-olah tidak cukup ofensif untuk memata-matai Muslim dengan mengirimkan informan ke masjid mereka, pemerintah federal sekarang memata-matai Muslim melalui aplikasi yang diandalkan jutaan orang untuk sholat di rumah,” kata Tarek Ismail.
Untuk itulah, CLEAR meminta transparansi atas kegiatan pembelian data lokasi pengguna Muslim Pro.
“Di mana seorang Muslim bisa beribadah di luar pengawasan penegakan hukum? Sangat penting bagi kami untuk mempelajari lebih lanjut tentang agensi mana yang menggunakan perangkat lunak ini, di mana dan bagaimana. ” ujarnya. []
Editor: Yuswardi A. Suud