YLKI Sebut OJK Tak Benar-benar Lindungi Konsumen Perbankan, Diduga Ini Penyebabnya

Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi | Foto: Beritasatu.com

Cyberthreat.id - Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menilai Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang seharusnya berfungsi sebagai pengawas perbankan, tidak benar-benar melindungi konsumen.

"Faktanya pihak perbankan tidak pernah diberi sanksi yang tegas meskipun kasus demi kasus yang merugikan konsumen terus terjadi," kata Tulus kepada Cyberthreat.id, Sabtu (28 November 2020).

Akibatnya, kata Tulus, kasus pembobolan rekening dan penipuan terkait perbankan terus terjadi. Kasus pembobolan rekening hingga Rp 20 miliar yang dialami nasabah Maybank Indonesia Winda Earl, kata Teguh, adalah contoh nyata lemahnya pengawasan OJK terhadap industri keuangan.
 
"Padahal seharusnya satu kasus pembobolan rekening yang terjadi, bisa dijadikan OJK sebagai acuan untuk memperbaiki kinerjanya," kata Tulus.

Menurut Tulus, lemahnya peran OJK dalam  perlindungan konsumen dan pengawasan karena sumber pembiayaan OJK ternyata berasal dari industri keuangan itu sendiri.

"Biaya operasional OJK seharusnya dari APBN, bukan dari saweran industri finansial, itu yang menimbulkan bias" ujarnya.

Tulus menyarankan, agar sumber pembiayaan OJK hanya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) saja. Tidak perlu, menggunakan pembiayaan yang berasal dari pungutan ke industri keuangan agar OJK memiliki "gigi taring" yang kuat, sehingga bisa dengan tegas menindak setiap lembaga keuangan yang merugikan konsumen.

"Bagaimana mau mengawasi mereka jika hidup OJK bergantung dari pihak yang diawasi?," tambah Tulus.

Seperti diketahui, dalam Undang Undang OJK yaitu UU No 21 Tahun 2011, pada pasal 34 disebutkan jika anggaran OJK bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan.

Anggaran dana tersebut akan digunakan oleh OJK untuk membiayai kegiatan operasional, administratif, pengadaan aset serta kegiatan pendukung lainnya. Pungutan tersebut akan dilakukan berdasarkan standar yang wajar di sektor jasa keuangan dan persetujuan DPR.

Dalam melakukan praktik pungutan ke pelaku industri keuangan, OJK merujuk ke 80 negara yang juga melakukan pungutan, seperti Hongkong, Estonia, dan Slovakia.[]

Editor: Yuswardi A. Suud