Kejaksaan Agung Amerika Sebut Enkripsi Ujung ke Ujung Persulit Pemberantasan Kejahatan Seksual pada Anak

Ilustrasi via The Hindu

Cyberthreat.id - Teknologi enkripsi ujung ke ujung (end-to-end encryption) yang diterapkan di sejumlah aplikasi perpesanan dinilai mempersulit pemberantasan kejahatan seksual terhadap anak secara online.

Hal itu dikatakan oleh Asisten Jaksa Agung Amerika Serikat Beth Williams seperti dilansir dari Info Security Magazine, Jumat (30 Oktober 2020).

"Penegak hukum akan kurang mampu bertindak dalam ribuan kasus di mana mereka mungkin bisa menghentikan penyebaran materi pelecehan seksual anak, menangkap predator, atau menyelamatkan anak dari pelecehan karena teknologi ini," kata Williams.

Disebutkan, tahun lalu saja, National Center for Missing & Exploited Children (NCMEC) telah menerima 16,9 juta laporan dugaan pelecehan yang mencakup lebih dari 69 juta foto, video, dan file lain terkait eksploitasi seksual anak.

Dia megatakan, kondisi ini diperburuk selama Covid-19, di mana anak-anak terbiasa dengan webcam dan menghabiskan lebih banyak waktu untuk online dan seringkali tanpa pengawasan.

"Kita beruntung memiliki teknologi canggih yang memberi kita sarana untuk tetap terhubung. Namun, teknologi yang sama juga memberi predator jalur ke rumah kita yang dapat digunakan untuk menargetkan anak-anak untuk eksploitasi seksual," tambah Williams.

Williams pun meminta agar semua pihak berkolaborasi untuk melindungi anak-anak agar tidak dieksploitasi secara online.

"Mengatasi masalah eksploitasi anak secara online mengharuskan semua masyarakat sipil bekerja sama termasuk penegakan hukum, organisasi non-pemerintah, hinggga industri swasta," tambah Williams.

Menurutnya, pelecehan yang awalnya dilakukan melalui dunia maya seringkali merembet pada pelecehan di dunia nyata. Dalam skenario yang terlalu umum, pemangsa dapat menggunakan media sosial untuk melakukan kontak dengan seorang anak, menghabiskan waktu untuk membangun kepercayaan, dan kemudian mencoba untuk bertemu secara langsung untuk melakukan pelecehan.

Dia menambahkan dalam beberapa kasus pemerasan, predator seksual ini menggunakan media sosial dan platform lain untuk memaksa korban berbagi gambar eksplisit tentang diri mereka sendiri, dan kemudian memeras korban untuk membayar uang, memproduksi konten yang lebih eksplisit, atau terlibat dalam tindakan seksual.

"Kejahatan ini terus meningkat dan terjadi di seluruh negara setiap hari," ujarnya.[]