Mastel: Soal Fintech, Infrastruktur dan Regulasi Mendesak

Ketua Umum Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Kristiono

Jakarta, Cyberthreat.id - Ketua Umum Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Kristiono mengatakan dalam mengurus persoalan financial technology (fintech) Indonesia harus menyelaraskan infrastruktur digital dengan regulasi yang akan menaungi. 

Jika tidak, kata dia, akan muncul banyak masalah saat terjadi praktik di lapangan. Terlebih, fintech memutar uang yang begitu besar menyangkut hajat hidup orang banyak.

"Jangan sepotong-sepotong melihat masalah ini," kata Kristiono di acara Halalbihalal keluarga besar Mastel diiringi diskusi bertajuk Fintech Ecosystem in Indonesia di Jakarta, Jumat (21 Juni 2019).

Ia mencontohkan bagaimana fintech sudah menjamur di Indonesia, tapi tidak ada UU yang menaungi. Besarnya potensi fintech juga tidak memiliki UU Perlindungan Data Pribadi, sementara praktek fintech berjalan besar-besaran melibatkan penduduk low middle income (Rp 5 juta - Rp 15 juta).

"Kalau ada yang tidak beres dengan fintech-nya, tentu muncul masalah seperti bagaimana proses pidananya. Artinya, banyak pihak yang belum terlindungi, tapi apakah fintech ini bermanfaat? Ya jelas bermanfaat bagi ekonomi kita," ujarnya.

Ia juga menyoroti konsep pertukaran Data Free Flow with Trust (DFFT) yang menjadi bahasan utama forum menteri G20 di Jepang 8-9 Juni 2019. Menurut Kristiono, DFFT akan mengoptimalkan ekonomi sementara pertukaran data antara negara tidak bisa dihindari.

"Kami setuju DFFT ini, tapi kan ada kata-kata Trust di belakang," kata dia.

Trust bermakna sebagai tantangan bersama bagi negara yang menerapkan DFFT. Apa tantangan besar itu? Menurut Kristiono adalah aspek privasi data dan keamanan data.

"Ada challenge besar kan. Bagaimana menjaga challenge itu. Nah, dijaga dengan regulasi dong. Itu sebabnya Indonesia harus punya regulasi secepatnya."

Pendekatan Regulasi dan Infrastruktur

Ketua Eksekutif Digital ID, Ajisatria Suleiman, mengatakan terdapat dua kecenderungan di dunia dalam menghadapi persoalan fintech. Pertama adalah pendekatan melalui regulasi yang dipelopori Eropa. 

Contohnya General Data Protection Regulation (GDPR) yang menjadi banyak acuan UU serupa di ranah global.

"Jadi, semua persepektif regulasi inovatif adanya di Eropa," kata dia.

Pendekatan kedua adalah lewat infrastruktur yang salah satu pelopornya, India. Menurut Aji, pendekatan infrastruktur lebih cocok bagi Indonesia karena melibatkan negara secara langsung dalam membangun infrastruktur digital. 

Pendekatan infrastruktur India dinamakan India's Tech yang memiliki empat pondasi. Pertama adalah identitas yang merupakan pondasi utama infrastruktur digital. Siapa pelaku dan pemain harus jelas.

Kedua dokumen yakni bagaimana memastikan dokumen diakui secara sah serta menciptakan digital long term.

"Dokumen ini bisa menjadi bukti digital sekaligus arsip digital. Diakui dan sah," ujarnya. 

Ketiga adalah payment yang disebut sebagai infrastruktur yang memudahkan. Contohnya menggunakan nomor ponsel sehingga praktik fintech bisa terjadi lewat nomor ponsel sudah terintegrasi dengan data dan informasi pribadi.

"Lewat nomor telepon uang bisa dikirimkan langsung." 

Terakhir adalah privasi data yakni bagaimana data bisa dishare antara berbagai pihak secara aman dan terpercaya.

"Kalau Indonesia membangun empat pondasi ini, menurut saya selesai semua. Artinya aspek regulasi dipercepat," ujarnya.