Perusahaan yang Berafiliasi dengan Militer China Ketahuan Kumpulkan Database Orang Berpengaruh di Sejumlah Negara

Ilustrasi

Cyberthreat - Sebuah perusahaan teknologi China mengumpulkan database 2,4 juta orang orang berpengaruh di Inggris, Australia, Kanada, India, Amerika Serikat, Japang, Jerman, dan Uni Emirat Arab. Data yang disinyalir dipasok untuk kepentingan lembaga intelijen China itu termasuk anak-anak dan hubungan keluarga mereka.
 
Diklasifikasikan sebagai Database Informasi Kunci Luar Negeri, data itu juga mencakup nama, tanggal lahir, riwayat pendidikan, biografi profesional, dan informasi lain yang diambil dari sumber terbuka yang tersedia di internet. Mereka yang datanya dikumpulkan termasuk politisi, tokoh militer, keluarga kerajaan, pemuka agama, pebisnis, akademisi, dan lainnya.

Perusahaan bernama Zhenhua Data dan berbasis di Shenzen itu menyebut bahwa mereka menyediakan "layanan untuk militer, keamanan, dan propaganda asing."

Pengumpulan data dari sumber terbuka memang bukan tindakan ilegal, namun database yang dikumpulkan menunjukkan kecanggihan yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam penggunaan perangkat lunak untuk memantau jutaan orang.

Awal Mula Terungkap
Situs Indian Express melaporkan, aktivitas pengumpulan data figur penting dari sejumlah negara itu terungkap berkat penelitian yang dilakukan oleh seorang profesor di Vietnam bernama Christpoher Balding. Dalam menjalankan misinya, Balding bekerja sama dengan sejumlah media di beberapa negara termasuk Indian Express, The Australian Financial Review, Italy’s Il Foglio dan The Daily Telegraph, London.
 
Menurut Indian Express, ada lebih dari 10 ribu nama orang India dalam daftar yang dikumpulkan. Mereka termasuk presiden, perdana menteri, tokoh oposisi, para menteri, hingga hakim agung negara itu.

Dari Australia, The Australian Financial Review (AFR) melaporkan, ada lebih dari 35 ribu tokoh penting di Australia berada dalam daftar.

Dalam laporannya AFR merincikan bagaimana database itu menggambarkan sosok Mike Cannon-Brookes, seorang pebisnis teknologi di Australia."Database mencatat Mr Cannon-Brookes memiliki empat anak, punya sejumlah tempat tinggal di kota dan sekitar Sidney dan bahwa orang tua dari istrinya, Anne, tinggal di Kalamazoo, Michigan," tulis AFR.

Situs web Zhenhua Data tampaknya telah dimatikan sejak perusahaan itu dihubungi untuk dimintai komentarnya. Sejauh ini, belum ada komentar resmi dari perusahaan.

Profesor Balding yang mengungkap temuan itu kepada ABC News mengatakan "China benar-benar membangun negara pengawasan besar-besar baik di dalam negeri maupun internasional."

"Saya pikir ini berbicara tentang ancaman yang lebih luas dari apa yang sedang dilakukan China dan bagaimana mereka mengawasi, memantau, dan berusaha memengaruhi...bukan hanya warga negara mereka sendiri, tetapi juga warga di seluruh dunia," tambah Balding.

Balding sendiri bekerja di Universitas Peking dan meninggalkan China pada 2018 karena alasan keselamatan. Dia lalu pindah ke Vietnam dan bekerja di Universitas Vietnam. Saat ini, Balding telah, menurut ABC, Balding telah kembali ke Amerika setelah diberitahu Vietnam mungkin tak lagi aman baginya.

Cyberthreat.id menemukan paper Balding yang dapat diakses secara online. Dalam paper setebal 5 halaman itu [pdf] , Balding menyebut ia mendapatkan suplai data dari seseorang yang punya hubungan dengan perusahaan.

"Metode apa pun seperti phishing, peretasan, malware, atau sandi tidak sah tidak pernah digunakan untuk mendapatkan data," tulis Balding.

Dipublikasi pada 13 September 2020, dalam papernya Balding mengatakan pihaknya menemukan hubungan erat antara perusahaan itu dengan Partai Komunis Tiongkok dan intelijen keamanan negara.

"Data tersebut tampaknya digunakan untuk mendukung intelijen, militer, keamanan, dan operasi negara China dalam perang informasi dan penargetan pengaruh," tulis Balding.  

Pada bagian kesimpulan, Balding mengatakan hasil kerjanya "memberikan bukti langsung pertam dari data yang dikumpulkan China tentang pemantauan dan pengumpulan datanya pada individu dan institusi asing untuk tujuan intelijen dan operasi pengaruh."

Ditambahkannya, kerjasama antara perusahaan swasta China dan militer untuk pengumpulan informasi intelijen harus menjadi perhatian. Individu dan lembaga asing yang bekerja di sektor sensitif perlu mengetahui bagaimana China menargetkan mereka untuk operasi pengaruh.

"Perang informasi yang disebut-sebut oleh Zhenhua menargetkan lembaga-lembaga utama di negara demokrasi seperti anak-anak politisi, universitas, dan sektor industri utama. Ini mengalir ke transmisi informasi dan pembentukan kebijakan. Demokrasi liberal terbuka akan bijaksana untuk meningkatkan privasi dan keamanan data dan memahami ancaman," kata Balding.[]