Jurnalis Rentan Doxing, AJI Jakarta Ingatkan Kode Etik Jurnalistik di Era Digital

Ilustrasi

Cyberthreat.id - Ketua Divisi Advokasi AJI Jakarta, Erick Tanjung, mengimbau jurnalis mematuhi kode etik jurnalistik dalam menjalankan tugasnya. Semua jurnalis, kata dia, rentan menjadi korban doxing di tengah kontestasi politik seperti Pilkada tahun ini. Selain itu, media massa di era terkoneksi dan munculnya gelombang informasi sangat membutuhkan validitas, integritas, dan akurasi dalam pemberitaan.

"Semua jurnalis rentan kena doxing di tengah era digital. Khususnya di tengah-tengah situasi politik seperti Pilpres maupun Pilkada," kata Erick kepada Cyberthreat.id, Sabtu (12 September 2020).

Kasus Doxing yang menimpa jurnalis Liputan6.com Cakrayuri Nuralam pada Jumat (11 September 2020) usai menjalankan tugasnya menjadi contoh kesekian kali bahwa jurnalis rentan serangan doxing. Sebelumnya sudah ada beberapa jurnalis media mainstream terkena doxing yang jejak digitalnya bisa dilacak di internet.

Korban dikuliti habis oleh pelaku doxxing dengan cara menyebarluaskan informasi pribadi di media sosial hanya karena sebuah pemberitaan. Data pribadi dan informasi sensitif menjadi bulan-bulanan pelaku kejahatan cyber, tidak hanya mengancam korban, tetapi juga keluarganya.

Erick mengatakan pasal 18 UU No 40 tahun 1999 tentang Pers mengatur bahwa kegiatan pers dilindungi UU. Terlebih, kata dia, pers di era digital juga mendapat semacam dukungan dari berbagai platform dan teknologi seperti media sosial, termasuk penyebarluasan berita melalui percakapan jaringan pribadi.

"Siapapun yang menghalang-halangi kerja-kerja jurnalis dapat dipidana dengan ancaman hukuman 2 tahun penjara atau denda Rp 500 juta," ujarnya.

Infrastruktur Kritis

Beberapa negara di dunia sudah menilai media massa dan media sosial sebagai infrastruktur kritis. Hal ini karena fungsi media massa dan platform digital semakin kritis di tengah era terkoneksi dan munculnya gelombang informasi.

Di Finlandia, media massa dan media sosial dianggap sebagai infrastruktur kritis untuk melawan hoaks dan disinformasi. Pakar IT Profesor, Richardus Eko Indrajit, dalam sebuah acara diskusi Manajemen Krisis Nasional bulan Agustus 2019 pernah menyatakan setiap negara memiliki perbedaan dalam menetapkan infrastruktur kritis.

Finlandia, kata dia, telah menganggap hoaks sebagai faktor yang bisa menimbulkan konflik dimana sebiji hoaks bisa mendatangkan krisis, Meskipun posturnya berbeda-beda di setiap negara.

"AJI mengimbau kepada semua pihak kalau ada yang bersengketa terkait pemberitaan silakan sampaikan hak jawab ke media yang bersangkutan atau diselesaikan dengan mengadu ke Dewan Pers," kata Erick menanggapi kasus Doxing yang menimpa jurnalis Liputan6.

Di Amerika Serikat (AS) sejumlah pakar IT menilai media sosial sudah bisa dianggap sebagai infrastruktur kritis dengan berbagai alasan. Salah satunya karena platform medsos sudah menguasai hajat hidup orang banyak.

Berkaca dari kasus Doxing terhadap Cakra, Erick berharap jangan sampai terjadi semakin maraknya pembungkaman terhadap kekebasan pers dan kebebasan berekspresi serta kebebasan berpendapat dimuka umum.

"Di daerah-daerah banyak kasus pidana untuk membungkam pers yang salah satunya memakai UU ITE. Makanya kami selalu mendorong revisi UU ITE untuk kebebasan berpendapat," ujarnya. []