Malware dan Covid-19 Disebut Mirip? Ini Kata Direktur Deteksi Ancaman BSSN
Cyberthreat.id - Direktur Deteksi Ancaman Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) Dr. Sulistyo mengatakan Malware yang semakin masif disebarkan melalui ruang siber bisa dilihat seperti manusia melihat penyebaran pandemi Covid-19. Penanganan malware, kata dia, mirip-mirip dengan Covid-19 yang memerlukan ilmu pengetahuan dan protokol dalam penanganannya, dilakukan secara bersama-sama, dan berkolaborasi.
"Jadi malware itu seperti penyakit. Misalnya virus. Nah, kita di ruang nyata melawan Covid-19 dengan menjaga jarak, menjaga kebersihan, patuhi protokol. Malware begitu juga, di ruang siber kita butuh cyber hygiene dan segala macamnya," kata Sulistyo dalam diskusi online bertajuk "Kita dan Malware" melalui platform Jumpa.id, Kamis (3 September 2020).
Menurut dia, pandemi global maupun ancaman malware bukan sesuatu yang harus ditakuti, tetapi melakukan persiapan dan Best Practice dalam menghadapi setiap ancamannya. Malware maupun Covid-19 juga memberikan hikmah bagi masyarakat global maupun warga di ruang siber.
"Penyakit ini pasti ada hikmahnya bagi kita. Sekarang itu tumbuh riset dan pengembangan, muncul perusahaan obat, dokter dan akademisi, berbagai solusi dan layanan digital, dimana semua pihak dilibatkan. Nah, ini semua akan menumbuhkan ekonomi bagi kita yang harus disikapi positif," ujarnya.
Berdasarkan statistik dan data yang dimiliki BSSN bahwa serangan siber banyak diawali dengan penyebaran Malware. Sejauh ini BSSN telah memiliki koleksi dan meriset lebih dari 5.600 Malware yang disaring melalui Honeypot.
BSSN yang bertugas melakukan deteksi dini terhadap ancaman di ruang siber Indonesia (early warning system) tentu harus mempelajari dengan seksama setiap ancaman.
"Maka kita harus tahu siapa yang membuat Malware itu. Bagaimana taktik, teknik, dan prosedurnya (TTP), apakah negara atau bukan negara, bagaimana model penyebarannya. Jadi semuanya perlu dipelajari seperti bagaimana mereka menginfeksi."
Sulistyo juga menekankan pentingnya berkolaborasi dalam menangani Malware yang kebanyakan mencuri data dan informasi. Itu sebabnya semua pihak harus dilibatkan sebagaimana penanganan Covid-19 saat ini.
"BSSN tidak bisa sendirian. Begitu juga kita melawan Covid-19 ini. Harus berkolaborasi. Misalnya kami di BSSN melalui Honeypot rutin mengirimkan sampel Malware kepada stakeholder. Nah, mengambil sampel virus Covid-19 tentu pakai APD lengkap, Malware juga begitu. Ada perlakuan khusus, kita harus punya pengetahuan, punya ilmunya, dan kembangkan teknologinya," jelas dia.
CEO startup Reblood, Leonika Sari, mengatakan industri digital sangat membutuhkan panduan dan bimbingan dari pemerintah untuk bisa berkembang. Startup, kata dia, didorong oleh kreativitas anak muda yang melek digital dan teknologi namun minim pengetahuan security.
"Startup itu kan kebanyakan anak muda, kami perlu itu bimbingan, perlu arahan, kami berharap bisa dibantu bagaimana mengamankan data dan informasinya," kata Leonika yang startup-nya memberikan solusi donor darah bagi masyarakat.
Faktor kepercayaan (Trust) juga sangat menentukan pertumbuhan dan pengembangan ekonomi internet. Menurut Leonika, salah satu kunci industri startup berkembang adalah bagaimana mengamankan data dan informasi.
"Termasuk dari ancaman malware ini. Kami butuh informasi kan, kami butuh petanya, dan keperluan lainnya untuk menunjang solusi yang kami tawarkan." []