Kisah Lansia di China di Era Revolusi Teknologi
Beijing, Cyberthreat.id – Sedikitnya 890 juta orang di China telah menggunakan aplikasi berbayar di ponsel pintar mereka. Masyarakat perkotaan China pun mulai meninggalkan transaksi dengan uang kertas. Mereka memilih dengan sistem cashless.
Kondisi itu menunjukkan China melangkah begitu cepat daripada negara maju lain dalam urusan cashless. Hampir semua transaksi mulai kopi hingga mobil dibeli dengan sekali sentuh lewat layar ponsel.
Sayangnya, kemajuan teknologi itu tak semua dirasakan warga China. Mereka yang sudah lanjut usia atau generasi baby boomer tertatih-tatih menyesuaikan diri dengan gawai pintar.
Memakai kacamata bacanya, Zhang Zhixia tampak serius membaca selebaran tentang cara pencegahan penipuan berbasis teknologi komunkasi. Zhang kini terpaksa kembali ke kelas setelah hampir lima dekade lalu meninggalkan sekolah.
Mantan guru taman kanak-kanak di Beijing yang kini berusia 62 tahun itu begitu antusias mendengarkan penjelasan relawan. Zhang dan kawan-kawan lain di kelas itu sengaja mengikuti pelatihan agar tidak ketinggalan era teknologi saat ini.
Sepanjang hidup Zhang, China telah beralih dari negara ekonomi kecil menuju negara dengan pertumbuhan ekonomi yang besar dengan kekuatan populasi penduduk yang dimilikinya.
Kini tiap pekan Zhang menghadiri “kelas ponsel” yang diadakan oleh sekelompok relawan, See Young, di Panzhuang, sebuah kawasan perumahan bergaya Uni Soviet di barat laut Beijing.
“Aku sangat ingin belajar,” Zhang bercerita sambil membawa ponsel Xiaomi-nya seperti dikutip dari CNN, Jumat (8/3/2019).
Zhang ingin sekali bisa beradaptasi dengan revolusi tekonologi yang terjadi di negaranya. Di saat teman-temannya bisa membayar tagihan rumah sakit dengan cukup memindai di ponsel, ia masih diribetkan dengan setumpuk uang kertas.
“Saya sangat iri dengan orang lain. Mereka membayar dengan pemindaian sederhana,” kata dia.
Fang Huisheng, rekan Zhang di kelas, sering dipanggil dengan sebutan “nenek tua” karena usianya 82 tahun. Ia termasuk murid See Young yang paling lama dalam urusan pembayaran digital. Namun, ia mengaku masih takut ketinggalan perkembangan revolusi teknologi.
“Kemajuan teknologi begitu cepat. Maka dari itu, apa yang seharusnya bisa membuat hidup lebih mudah bagi kami orang yang sudah tua,” kata Fang.
Fang mengatakan terinspirasi untuk mengikuti kelas-kelas media sosial yang menyoroti kegelisahan dan ketidakberdayaan para golongan lansia.
Di China, masih ada penolakan terhadap golongan lansia oleh sebuah vendor yang hanya menerima pembayaran digital. Mereka kadang dibiarkan tidak dapat membeli tiket di stasiun kereta karena alasan serupa.
Pengungsi Digital
Profesor Demografi Sosial dari Universitas Peking, Lu Jiehua, mengatakan, saat ini popularitas alat digital sangat berdampak pada kehidupan orang-orangtua. Efek ini terjadi seiring meningkatnya jumlah warga lanjut usia di Negara Tirai Bambu itu.
Lu memperkirakan sekitar seperempat dari populasi China akan berusia di atas 60 tahun pada 2030. Kelompok lanjut usia tersebut, dalam istilah Lu disebut sebagai “pengungsi digital”.
Lu menilai sementara ini pemerintah begitu memberikan kenyamanan bagi orang-orang muda yang melek teknologi, berbeda dengan warga lansia.
“Sebagian besar orangtua mengunjungi rumah sakit ketimbang anak muda,” kata Lu. Dengan kondisi itu, kata Lu, aplikasi seluler untuk pendaftaran rumah sakit tidak bisa membantu warga lansia.
Hai Ningliang, Profesor Muda dari Universitas Xi’an Jiaotong-Liverpool di Suzhou, mengatakan, jika banyak warga lansia dibantu melek teknologi digital, sebenarnya bisa memberi manfaat secara sosial dan ekonomi. Karena potensi pasar sangat besar dari para manula.
“Orangtua akan mewakili kelompok pengguna teknologi yang signifikan di masa depan,” ujar Hai.
Ia memperkirakan pada 2030 jumlah pengguna internet berusia di atas 60 tahun mencapai 245 juta dan pada 20150 diperkirakan bisa 350 juta.
Menurut riset yang dilakukan Tencent Research Institute dan Universitas Shenzhen, cara terbaik bagi generasi lansia untuk bisa mengoperasikan teknologi baru yaitu belajar dari anggota keluarga sendiri.
Hal ini pula yang dialami oleh Hou Yuqing, anggota relawan See Young. Ia mengatakan, sebelum bergabung ke See Young dirinya membantu neneknya sendiri untuk beradaptasi dengan teknologi baru. Sejak itu, akhirnya ia turut terlibat untuk membantu warga lansia lain yang masih gagap teknologi digital.
Sementara itu, Zhang Zhixia mengaku anaknya sendiri justru enggan mengajari dirinya cara menggunakan WeChat, aplikasi perpesanan populer di China. Bahkan, anaknya menolak untuk memberi Zhang sebuah ponsel yang lebih baru.
Kekurangsabaran anaknya itu, akhirnya Zhang mengaku begitu kesepian. “Dia bilang: ‘Aku pantasnya memakai ponsel untuk menelpon saja’,” kata Zhang.
Sekadar diketahui, di China sekitar 118 juta orangtua hidup sendiri. Hal ini membuat mereka semakin tersiolasi dari sosial mereka, terlebih di era teknologi baru.
Kini Zhang sudah mahir menggunakan ponselnya. Ia pun bisa mengedit video hingga mencari lokasi melalui peta digital.