Data Pribadi di Situs Mahkamah Agung: Sudah Dicambuk, Datanya Diumbar Vulgar Pula

Ilustrasi hukum cambuk di Aceh | Foto: Modus.co

Cyberhtreat.id - Entah bagaimana RD (inisial)  menjalani hari-hari setelah 2 Maret 2020. Hari itu, bertempat di Taman Sari, Banda Aceh, 30 cambukan mendarat di badan wania muda berusia 20 tahun itu.  Hukuman cambuk di depan umum itu merupakan putusan Mahkamah Syariah Provinsi Aceh. RD  dinyatakan melanggar Qanun Aceh Nomor 6 tahun 2014 tentang Hukuman Jinayat. Selain RD,  seorang pria yang disebut sebagai pacarnya juga mendapat 30 cambukan.

Mahkamah Syariah Banda Aceh kemudian mengunggah putusan perkaranya di situs Mahkamah Agung. Perkara itu tercatat dalam putusan Nomor 67/JN/2019/Ms.Bna di Direktori Putusan Mahkamah Agung  dan dapat diunduh oleh semua orang di seluruh dunia yang terhubung dengan koneksi internet dalam bentuk file Zip dan PDF.

Pada bagian pengantar putusan, perkara tersebut tercatat teregister pada 2 Desember 2019 di Mahkamah Syariah Banda Aceh.

Pada bagian awal putusan, nama RD dan pacarnya disebut sebagai "Terdakwa I" dan "Terdakwa II". Namun, dalam kronologis perkara, namanya disebut lengkap dengan nama orang tuanya. Selain itu, usia, tanggal lahir, nomor NIK, alamat, dan tempat kerjanya juga disebut secara gamblang.

Disebutkan, RD berusia 20 tahun dan pacarnya berusia 23 tahun.

Dalam kronologis perkara disebutkan secara vulgar bagaimana keduanya bermesraan pada 20 Oktober 2019 sekitar pukul 22.45 WIB. 

***

Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI  nomor 1-144/KMA/SK/I/2011 sebenarnya sudah mengatur pengaburan informasi pribadi untuk sejumlah kasus seperti kasus tindak kesusilaan, perkawinan, pengangkatan anak dan lainnya.

Disebutkan, informasi yag harus dikaburkan dalam perkara itu meliputi: nama dan nama alias, pekerjaan, tempat bekerja dan identitas kepegawaian yang bersangkutan, serta sekolah atau lembaga pendidikan yang diikuti.

Aturan itu juga merinci cara pengaburan informasi yang dikecualikan. Misalnya: nama Mulyadi diganti menjadi Terdakwa saja. Atau "Sobirin yang merupakan anak ketiga dari pasangan yang bercerai menjadi "Anak III Penggugat dan Tergugat."

Hanya saja, meskipun aturan itu telah dibuat sejak 2011, dalam prakteknya pengungkapan data pribadi para pihak masih terjadi.

Dalam kasus RD di atas, yang bersangkutan di sebut bekerja di sebuah toko kain di Banda Aceh. Nama toko tersebut juga disebutkan secara lengkap.

Bermodal nama lengkap yang diperoleh dari putusan yang diunggah di situs Mahkamah Agung itu, Cyberthreat.id menelusuri nama lengkapnya di media sosial Facebook dan menemukan sebuah akun atas nama yang sama.

Data diri yang dimuncul di sana sama persis seperti yang disebut dalam putusan Mahkamah Syariah Banda Aceh, termasuk daerah asalnya yakni dari Kabupaten Simeulue. Ada pula beberapa foto yang memperlihatkan Diana berpose dengan latar belakang tumpukan kain yang dijual, cocok dengan putusan kasusnya yang menyebut Diana bekerja di sebuah toko kain. Akun Facebook itu terakhir diperbaharui pada Januari 2019.

Kasus RD hanya salah satu dari sekian perkara yang data pribadinya tidak disensor. Cyberthreat.id juga menemukan sejumlah kasus lain dalam perkara perceraian. (Baca: Situs Mahkamah Agung Ungkap Data Pribadi Sebagian Kasus Perceraian).

Temuan ini tentu saja memprihatinkan. Tidakkah terbayang bagaimana data diri RD ditelanjangi, sementara dirinya sudah menerima hukuman cambuk atas kesalahannya? Jika data itu terus dibiarkan online, bisa jadi RD akan menerima hukuman sosial seumur hidupnya. Bahkan, jika tidak diturunkan, anak cucunya kelak akan dapat membacanya.

Ditanya tentang hal itu, juru bicara Mahkamah Agung Andi Samsan Nganro mengakui adanya kesalahan sehingga sebagian data pribadi para pihak  dipublikasi tanpa sensor di situs itu seperti temuan Cyberthreat.id, termasuk dalam kasus perceraian.

"Sebenarnya semua data perceraian harus dilindungi dengan cara mengaburkan identitas," kata Andi menjawab Cyberthreat.id, Senin (17 Agustus 2020).   

Andi mengatakan, temuan Cyberthreat.id terkait adaya pengungkapan data pribadi para pihak dalam perkara perceraian di situs web Mahkamah Agung akan dijadikan bahan evaluasi.

"Itu sebagai masukan untuk kami evaluasi sesuai dengan aturannya," ujarnya.

Andi menambahkan, dirinya sudah mengonfirmasi ke sejumlah sumber yang berkompeten dan mendapat jawaban bahwa "data pribadi itu harus dilindungi dan identitas para pihak harus dikaburkan."

Ditanya bagaimana hal itu bisa terjadi, Andi mengatakan tidak semua data yang diunggah di Mahkamah Agung dilakukan dari Jakarta. Jika perkaranya dari daerah, kata dia, maka putusan perkara itu diunggah oleh pengadilan di daerah.

"Yang di MA tentu MA. Sedangkan yang di daerah tentu daerah sendiri sebab daerah lah yang mengupload,” kata dia.

Direktur Eksekutif The Institute for Digital Law and Society (Tordillas), Awaludin Marwan, menilai pembukaan data pribadi di situs Mahkamah Agung adalah bentuk pelanggaran data pribadi.

Awal menyayangkan hal itu. Sebab, sebelumnya data ini dibuat anonim sesuai kebiasaan hukum internasional. Namun saat ini jika melihat beberapa putusan, data pribadi  pihak-pihak terkait justru dibuka.

"Riwayat kejahatan di bidang pidana merupakan data sensitif, dan itu seharusnya dianonimkan," ungkap Awaludin ketika dihubungi oleh Cyberthreat.id (17 Agustus 2020).

Awal menambahkan, di Indonesia, saat ini memang belum ada aturan atau regulasi yang mewajibkan data-data pribadi pada putusan sebuah kasus harus ditutup. Bahkan, Permenkominfo yang ada juga tidak mengatur secara persis terkait pembukaan data tersebut.

Meskipun tidak diatur dalam hukum, awal menambahkan, bagi pihak yang merasa dirugikan dengan pengungkapan data pribadi dalam putusan dari MA, dapat mengajukan gugatan perdata.

"Masyarakat yang sadar kalau datanya dibuka dan merasa keberatan bisa mengajukan gugatan perdata," tambah Awal.

Berkaitan dengan hal ini, ia menyarankan pemerintah Indonesia segera menyelesaikan RUU PDP agar setiap kasus pembukaan data pribadi bisa diproses secara hukum.

Awaluddin benar. Apalagi, ada orang-orang seperti RD yang masa depannya terancam akibat publikasi data pribadi secara vulgar itu.[]

Reporter Tenri Gobel dan Oktarina Paramitha Sandy menyumbang bahan untuk tulisan ini.