Peretasan Akun Twitter, Pilpres AS Dihantui Deepfake

Ilustrasi | Foto: Istimewa

Cyberthreat.id - Peretasan ratusan akun Twitter berprofil tinggi pada 15 Juli lalu bukanlah serangan cyber yang dirancang untuk mencuri data pribadi atau menembus jaringan IT. Kemungkinan besar, insiden peretasan akun ternama itu adalah bentuk "deepfake" dalam skala massal.

Akun tokoh publik terkemuka seperti Bill Gates dan Barack Obama hingga Jeff Bezos dan Joe Biden dibajak lalu mencuitkan sesuatu yang dipercaya publik sebagai cuitan resmi dari para tokoh tersebut. Jeremy Bash - mantan kepala staf CIA yang bekerja di Departemen Pertahanan AS era Presiden Barrack Obama - menuliskan pendapatnya terkait Deepfake baru-baru ini.

Motif dari peretasan ratusan akun lebih bersifat finansial. Pelaku mendesak pengikut akun untuk mengirim Bitcoin ke akun yang telah dikendalikan hacker. Sebelum Twitter dapat mengendalikan peretasan ini, kerugian dikabarkan telah mencapai $ 120 ribu dan kasus ini sedang ditangani FBI.

Menurut Bash, insiden ini menggambarkan betapa mudahnya membajak mekanisme yang digunakan sebagian besar pemimpin/tokoh untuk berkomunikasi dengan publik. Platform media sosial seperti Twitter, Facebook dan Instagram adalah alat penting bagi para pemimpin untuk berkomunikasi dengan publik.

Selama bertahun-tahun badan intelejen AS dan Komite Kongres sudah mengindentifikasi betapa berbahayanya Deepfake. Sebuah tim riset dari Center for Advanced Virtuality MIT pernah menciptakan pidato (palsu) Presiden Nixon tahun 1969 yang diubah tentang Apollo 11.

Saat didengarkan, pidato tersebut menjelaskan tentang kegagalan misi AS di bulan, tetapi sebenarnya misi itu tidak gagal. Pelajaran dari penelitian itu adalah kekuatan teknologi bisa digunakan untuk menulis ulang sejarah.

"Bayangkan jika sebuah negara-bangsa atau organisasi teroris meretas feed Twitter Presiden Trump dan mengirimkan pesan yang menunjukkan AS akan menyerang China dalam waktu dekat," tulis Bash.

Ruang Siber Rapuh

Michael Steed, Founder Paladin Capital Group yang berinvestasi besar di sektor keamanan siber (cybersecurity), mengatakan ruang siber adalah kelemahan utama AS. Pandemi Covid-19 telah membuat banyak orang bergantung kepada internet untuk bekerja, sekolah, bertransaksi, video konferensi, dan keperluan hidup sehari-hari.

Jika serangan cyber diarahkan kepada semua aktivitas tersebut, maka banyak
pekerjaan, bisnis, sekolah, dan lembaga pemerintah memekik karena tidak bisa beroperasi. Indikasi untuk melihat ancaman cyber ini sangat mudah.

"Rusia dan China telah melakukan serangan cyber untuk mencuri data dan informasi vaksin Covid-19 yang dikembangkan AS di berbagai institusi," ujar Steed.

Yang paling mengkhawatirkan Steed adalah potensi kesalahan besar yang terjadi saat kampanye dan Pilpres AS 2020. Pola pemilihan sudah pasti akan berubah akibat Covid-19. Pesan-pesan tentang tempat pemungutan suara, metode pemungutan suara, pemilih, operasi disinformasi, hingga potensi kekacauan akibat informasi yang salah.

Steed kemudian menggambarkan sebuah kondisi saat pidato atau rekaman suara/video dari tokoh publik seperti gubernur, pejabat negara, tokoh masyarakat, pemimpin agama, jurnalis veteran - dibajak lalu ditukar dengan pesan-pesan alternatif

"Kampanye ini mengelabui pemilih agar memberikan suara mereka secara tidak benar - atau di tempat atau waktu yang salah - dan ini dapat menghilangkan hak pilih bagi banyak rakyat Amerika," tulis Steed.

Bash maupun Steed di dalam kolom opininya yang diterbitkan The Hill pada 21 Juli 2020 meminta kepada otoritas AS segera bertindak melawan ancaman cyber, terutama Deepfake di Pemilu AS. Ia meminta pemerintah mendengarkan rekomendasi dari badan siber dan komite nasional lain yang mempelajari ancaman tersebut.

Publik juga harus mendapat arahan bagaimana memilih yang baik dan benar karena disinformasi akan menjadi musuh besar. Meningkatkan keahlian staf dan pekerja terutama investasi ilmu dan biaya untuk penguatan ruang siber. Termasuk melibatkan sektor swasta dan sektor lain untuk memperkuat kekuatan di ruang cyber.

Steed juga meminta raksasa media sosial yang platformnya digunakan untuk Deepfake terlibat penuh dalam Pilpres AS. Raksasa teknologi seperti Facebook, Google, Twitter, dan Microsof sudah BERSATU melawan Deepfake dengan investasi besar dalam beberapa tahun ke depan. Dibutuhkan peran manusia (SDM) dalam mengulas dan menilai deepfake serta mencegah deepfake secara real-time.

"Investasi (para raksasa) itu harus dilanjutkan," tegas Steed.

Bash dan Steed berpendapat deepfake yang dilihat banyak orang saat ini baru permulaan. Itu sebabnya pencegahan lebih baik dari pengobatan. Presiden AS Donald Trump sudah mengatakan sangat khawatir tentang "penipuan" di Pilpres AS 2020. Dan, memerangi tipuan seperti Deepfake akan menjadi awal yang baik untuk memulai perlawanan. []