Awas, Medsos Masih Jadi Sarang Hoax Covid-19

Ilustrasi

Cyberthreat.id - Co-Founder Mafindo, Aribowo Sasmito, kembali mengingatkan media sosial masih menjadi salah satu sarang hoax yang berkaitan dengan virus Corona. Menurut dia, kebanyakan pengguna media sosial tetap saja menyebarkan informasi tanpa pikir-pikir atau melakukan pengecekan kebenaran dari informasi tersebut.

"Salah satu tempat bersarangnya hoaks adalah social media, kita tidak bisa salahkan platformnya, tetapi kita sebagai pengguna media sosial harus lebih bijak dalam menggunakannya," kata Ari dalam diskusi online bersama Liputan6.com bertajuk Bahaya Hoaks Di Masa Pandemi Covid-19, Senin (6 Juli 2020)
 
Ari menilai hoax di masa pandemi jauh lebih berat dibandingkan hoax politik yang dapat memicu kejadian berbahaya di kehidupan nyata serta bisa membahayakan nyawa manusia. Selain itu, hoax di masa Covid-19 baru pertama kali dialami Indonesia yang jauh berbeda dengan hoax di masa darurat kesehatan lain yang pernah terjadi di Tanah Air.

"Kalau hoax politik menimbulkan masalah tentu masih akan bisa diatasi oleh pihak kepolisian, tapi kalau sudah kesehatan akan sulit karena ini berhubungan dengan nyawa," ujarnya.

Ari menyarankan kepada para pemeriksa fakta untuk melakukan verifikasi informasi dengan menanyakannya langsung ke para ahli yang bisa dijadikan referensi. Para ahli yang memiliki catatan kredibel dan sesuai dengan bidang permasalahan yang ada.

Selain itu, kampanye "saring sebelum sharing" perlu terus dilakukan. Terutama menyoroti peran media massa yang kredibel sebagai sebagai sumber informasi valid serta berhak melakukan cek dan ricek.

Transparansi dan Akuntabilitas

Pemimpin Redaksi Majalah Tempo, Wahyu Dhyatmika, mengatakan masalah hoax Covid-19 dihadapi oleh berbagai negara, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Namun, kata dia, semua masalah hoax terkait pandemi global tersebut memiliki kesamaan seperti adanya disinformasi.

Sebut saja pembelokan informasi terkait dengan virus Corona, kemudian cara pencegahan virus Corona, obat virus corona, hingga disinformasi soal kebijakan yang diambil pemerintah dalam mengatasi pandemi Covid-19.

"Info pandemi yang beredar di dalam dan di luar negeri ada kesamaan, karena kami kan juga tergabung di kolaborasi CoronaVirus Fact yang menghimpun para pemeriksa fakta dari seluruh dunia. Dan disitu kami mengumpulkan data tentang tipologi jenis hoax dan yang terjadi di Indonesia sama saja dengan yang ada di luar negeri," ungkap Wahyu.

Hoax akan menjadi sangat berbahaya jika tidak segera dicari formula untuk mengatasinya. Infodemi ini, kata dia, berkaitan dengan nyawa seseorang yang harus ditangani hati-hati. Wahyu mencontohkan kejadian di Amerika Serikat saat masyarakat mendengar Presiden Donald Trump sempat mengindikasikan obat Corona terdapat dalam disinfektan (cairan pembersih) yang bisa diminum.

Ucapan sang presiden menyebabkan beberapa kasus kematian karena informasi yang tidak tepat ini dimakan mentah-mentah oleh masyarakat.

Persoalan lain dalam menghadapi hoax adalah "trust" atau kepercayaan terhadap pemerintah dalam mengatasi Pandemi Covid-19. Dimana pun negara di dunia ini, pemerintah adalah satu-satunya sentral penanganan Covid-19 yang didukung kolaborasi dengan berbagai pihak.

"Kalau pemerintah bisa transparan, bisa meyakinkan publik bahwa semua kebijakannya berdasarkan informasi dan data yang lengkap, dan bisa diverifikasi, tentu publik akan yakin. Hal ini juga akan mempengaruhi tingkat kepatuhan masyarakat terhadap informasi dan himbauan dari pemerintah," ujar Wahyu.

Kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah akan mempengaruhi kerentanan orang terpapar hoax. Menurut Wahyu, kedua hal ini saling terkait sehingga sangat penting untuk memastikan sistem informasi di Indonesia bebas dari hoax dan pemerintah juga harus transparan serta akuntabel.

"Semua informasi yang diberikan kepada masyarakat harus berdasarkan riset dan juga penelitian. Harus ada kerjasama semua pihak, mulai dari pemerintah, media, komunitas, dan masyarakat." []

Redaktur: Arif Rahman