Alfons: Tren Pembobolan Akun Medsos Sudah Biasa, Suatu Saat Sistem Elektronik yang Diretas

Ilustrasi | Foto: Istimewa

Cyberthreat.id - Saat ini sedang terjadi tren pembobolan akun media sosial milik publik figur hingga pengambilalihan akun-akun milik pejabat publik. Akses ilegal yang dilakukan pelaku kejahatan cyber memiliki berbagai tujuan namun sebenarnya tren pembobolan terjadi secara global di hampir semua negara, khususnya di tengah meningkatnya digitalisasi.

Baru-baru ini peretasan terhadap akun Instagram milik selebriti Nikita Mirzani menghebohkan Netizen. Artis-artis lain juga sempat bikin heboh warganet akibat peretasan akun seperti aktris Luna Maya, penyanyi Nindy Ayunda, aktor Anjasmara, hingga komedian Babe Cabita yang semuanya memiliki banyak pengikut di ranah dunia Maya.

Pada Jumat (3 Juli 2020) akun WhatsApp milik Komisioner Bawaslu RI Mochammad Afifuddin juga sempat diambil alih pihak tak bertanggung jawab. Beruntung pengambilalihan akun tak berlangsung lama karena akun milik Afifuddin dapat dipulihkan melalui campur tangan Kepala Kebijakan Publik Facebook Indonesia, Ruben Hattari.

Pakar IT dari Vaksincom, Alfons Tanujaya, tidak kaget dengan tren pembobolan akun medsos yang melanda publik figur hingga pejabat publik. Menurut dia, yang paling berbahaya adalah ketika banyak masyarakat tidak siap dengan transformasi digital sehingga orang yang gagap teknologi (gaptek) dan awam menjadi korban paling empuk. 

Pandemi Covid-19, kata dia, membuat jumlah masyarakat global yang "Go Digital" meningkat signifikan. Di Indonesia, menurut Alfons, jumlah orang-orang yang memasuki ranah digital meningkat berkali lipat karena hampir semua aktivitas dilakukan secara digital. Mulai dari mencari informasi hingga membeli makanan.

"Makin banyak orang Go Digital karena dipaksa dan memang butuh. Masalahnya banyak orang yang gaptek," kata Alfons kepada Cyberthreat.id, Sabtu (4 Juli 2020).

Dia mengibaratkan jumlah orang yang masuk ranah digital di Indonesia bisa mencapai lima kali lipat dibanding sebelum Covid-19. Misalnya, jika akhir tahun 2019 jumlah orang Go Digital sekitar 10 juta, maka saat ini jumlahnya bisa mencapai 50 juta sampai 60 juta.

"Katakanlah, misalnya ya, 60 juta sekarang. Nah, itu kalau beberapa persen saja diretas atau mengalami kriminal cyber, Indonesia bisa kerepotan," ujarnya.

Alfons berharap pemerintah bisa lebih menggalakkan literasi keamanan cyber karena peretasan lebih lanjut bisa masuk ke arah yang lebih serius seperti peretasan sistem elektronik. Saat ini, kata dia, sudah banyak perusahaan yang bertransformasi operasional dari kantor ke rumah-rumah.

Alfons melihat persoalan ini seperti Pyramid User Model. Di lapisan teratas, yang jumlahnya sedikit, terdiri dari pakar dan orang-orang terbaik di bidang IT dan cyber. Di lapisan kedua, kata dia, terdiri dari pengamat dan se-levelnya. Di lapisan ketiga adalah level akar rumput yang jumlahnya banyak sekali dan rentan diserang sebagai mangsa paling empuk.

"Sebenarnya literasi keamanan atau cyber hygiene bagi pejabat itu sangat perlu. Kalau misalnya mereka gaptek tentu harus belajar dan comply sama digital. Kalau enggak bisa, sebaiknya tidak usah menjabat, kasih sama yang lebih muda."

Terakhir, Alfons berharap pemerintah segera merampungkan undang-undang Keamanan dan Ketahanan Siber yang menurut dia harus disegerakan. Seperti diketahui DPR telah melakukan carry over RUU KKS ke tahun 2021 sementara prioritas tahun ini adalah RUU Pelindungan Data Pribadi (PDP).

"Saya berharap kemarin itu (RUU KKS dan RUU PDP) disegerakan karena memang sudah urgent kan."[]