Perempuan dan Keamanan Dunia Maya di Mata Natasha

Natasha Amadea, konsultan keamanan siber di Horangi. | Foto: Arsip Pribadi

Cyberthreat.id – Natasha Amadea tak menutup mata stigmatisasi perempuan di kalangan pegiat keamanan siber.

Dunia kerjanya memang didominasi kaum adam. Pandangan atau kesan meremehkan kerja perempuan untuk hal teknis masih ditemuinya.

Natasha tak ambil pusing dengan pandangan itu. Prinsipnya: tunjukkan hasil kerja.

“Apalagi kelihatan masih muda dan ada yang ngomong: ‘kamu belum lahir saja saya sudah kerja di sini’,” cerita Natasha, konsultan keamanan siber di Horangi, perusahaan keamanan siber berpusat di Singapura, kepada Cyberthreat.id, baru-baru ini.

“Kalau [mereka] sudah [ngomong] kayak gitu, saya cuma bisa terima saja, enggak dibalas. Tunjukkan kerja bagus, itu lebih oke, sih,” ujar Natasha.

Cibiran itu bagi Natasha adalah cambuk dan sekaligus tantangan. Tak jarang ia juga menerima simpati dari kliennya.

“Mungkin mereka bosan ya ketemunya laki-laki terus. Jadi, beberapa senang juga kalau akhirnya ada konsultan siber perempuan,” kata Natasha.

Di Horangi secara global (Singapura, Hong Kong, Indonesia, Korea, dan Thailand), hanya ada dua konsultan keamanan siber perempuan, salah satunya dirinya.

Menurut Natasha, kurangnya karyawan perempuan di bidang keamanan siber bukan karena perusahaan—di Horangi, misalnya—membatasi perbedaan gender.

Hanya, memang para pelamar untuk posisi tersebut lebih banyak laki-laki dibanding perempuan. Jadi, yang sering diterima bekerja mayoritas laki-laki.

“Kadang cewek-cewek tanya [lowongan juga] ke saya ... Ada teman-temanku yang cewek tanya: ‘Kalau cewek enggak pa pa?’ Ya enggak apa-apa. Kami bukan diseleksi: ‘Oh kita mau yang cowok saja’,” tutur dia.

Menurut dia, berkarier sebagai konsultan keamanan siber atau di bidang dunia maya sangat seru jika didalami. Ia pun memberikan sejumlah kiat bila perempuan-perempuan lain ingin terjun seperti dirinya.

Pertama, mengerti konsep apa yang dipelajari, khususnya hal teknis. Ia mengaku pernah di posisi menyerah saat berusaha mempelajari teknis, seperti sintaks di bahasa pemrograman

“Waktu belajar juga trial and error. Awal-awal berusaha ngapalin sintaksnya. Eh, bahasa pemogramannya ganti, jadi stres sendiri,” kenang Naatsha.

Kedua, jangan malu untuk terus bertanya. Untuk kembali semangat belajar, ia selalu bertanya kepada mentornya. Ia baru paham bahwa tak seharusnya menghafal sintaks, tapi memahami konsepnya.

“Benar juga. Kalau ngapalin sintaks, tapi enggak tahu mau ngapain, untuk apa?” ujar dia.

Oleh karena itu, adanya mentor, kata dia, penting sekali ketika ingin belajar dunia siber. Dalam hubungan dengan mentor inilah ada berbagi pengalaman.

“Sama-sama saling belajar di dunia siber. Paling enggak enak kalau sendirian, enggak ada partner belajar,” kata dia.

Tak hanya memiliki mentor, Natasha pun menyarankan agar bergabung dengan komunitas yang bergerak di bidang siber menjadi kiat ketiga.

“Aku juga join. [Di komunitas, anggotanya] mereka suka sharing materi experience tentang klien. Meskipun enggak sebut klien, tapi mostly kita tahulah siapa ini. Jadi, kita bisa belajar: ‘Oh harusnya kayak gini’,” ujarnya.

Ketika bergabung di sebuah komunitas, menurut dia, jauh lebih cepat belajar dibanding sendirian mencari informasinya. “Karena up to date ya,” kata Natasha.

Kiat berikutnya ialah mulailah dengan kehidupan bermedia sosial yang aman, seperti penggunaan kata sandi (password) yang sesuai, tidak memberikan terlalu banyak informasi personal ke publik, tidak sharing password, dan sebagainya.

“Itu kan sudah mulai siber. Nanti kalau sudah tertarik, sudah mulai familiar, baru nyemplung ke teknis. Itu seru juga soalnya,” kata Natasha, sebelumnya konsultan keamanan siber di Ernst & Young Indonesia, perusahaan konsultan asal Inggris.[]

Redaktur: Andi Nugroho