Sidang Sengketa Pilpres: Hoaks Menurun, Medsos Bebas Akses
Jakarta, Cyberthreat.id – Hingga proses sidang Perselisihan Hasil Pemilu Umum (PHPU) atau sengketa Pilpres 2019 sudah berjalan di Mahkamah Konstitusi sejak Jumat (14 Juni 2019), pemerintah membuktikan tak membatasi akses media sosial.
Sebelumnya beredar kabar, bahwa akses ke media sosial akan dibatasi selama sidang PHPU di MK. Namun, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara menepis kabar adanya pembatasan akses media sosial.
Rudiantara mengatakan, kebijakan pembatasan akses medsos pada tanggal 22 sampai 24 Juni lalu saat aksi massa di Gedung Bawaslu, tak lagi diberlakukan. Alasannya, kondisi saat ini sangat berbeda jauh.
“Saat itu (Aksi 22 Mei) ada puluhan hoaks, konten negatif yang sifatnya bukan hanya bohong saja, tetapi provokasi, menghasut, mengadu domba, Itu secara kualitatif,” kata Rudiantara di Jakarta.
Pelaksana tugas Kepala Biro Humas Kemkominfo, Ferdinandus Setu mengatakan, pihaknya sampai kini masih melakukan pemantauan aktivitas peredaran informasi hoaks di media sosial mengenai proses di MK.
Pria yang akrab disapa Nando itu juga memastikan jika terjadi peningkatan penyebaran informasi atau berita hoaks mengenai sidang di MK, maka pemerintah akan langsung membatasi penggunaan layanan media sosial, agar sidang MK bisa berjalan dengan lancar, tanpa informasi hoaks di media sosial.
“Langkah pelambatan atau pembatasan media sosial hanya dilakukan jika terjadi peningkatan eskalasi hoaks dan hasutan di media sosial,” kata Nando melalui pesang singkat, Jumat, (14/6/2019).
Dia berharap selama proses sidang di MK, tidak ada akun media sosial yang menyebarkan berita hoaks, sehingga pemerintah tidak perlu membatasi penggunaan media sosial sepanjang sidang MK berlangsung.
Hoaks Menurun
Rudiantara menambahkan, saat aksi Mei lalu juga terdapat URL yang digunakan untuk penyaluran hoaks.
"Sehari bisa ditemukan 600 sampai 700 hoaks. URL atau itsilah umumnya dikenal dengan kanal itu, menjadi alasan mengapa medsos ditutup sementara," katanya.
Sedangkan untuk sidang sengketa Pilpres di MK, kata Rudiantara, jumlah tidak seperti pada saat aksi 22 Mei.
“Nah, sekarang itu menurun terus sampai kita cabut pembatasan sekitar 300an, kemudian turun 200, dan sekarang itu dibawah, ya hampir 100 lah,” katanya.
Bahkan, ia mengatakan penurunan jumlah hoaks sekarang ini sudah masuk kategori normal. Normal dalam artian, secara kualitatif tidak ada konten yang menghasut hasil pengumuman penghitungan suara, tidak ada mengadu domba.
“Jadi, hari ini tidak ada alasan untuk melakukan pembatasan. Dan, pembatasan itu bukan tujuan pemerintah, ya,” katanya.
Terlalu Liar
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto mengatakan lalu lintas media sosial saat ini dianggap sudah terlalu liar. Hal ini dilihat dari berbagai opini publik yang terbangun, sehingga dapat menimbulkan kekacauan yang berdampak pada penambahan beban pengamanan nasional.
Namun, Menko Polhukam menambahkan bahwa pembatasan media sosial yang telah dilakukan pada 22 hingga 25 Mei lalu sudah selesai dan dicabut.
“Hanya kita gunakan kalau keadaan betul-betul membutuhkan. Kami sudah meminta maaf kepada masyarakat pengguna internet dan medsos yang dirugikan. Tetapi, kami juga memberikan pemahaman bahwa kepentingan negara dan bangsa lebih besar dari kepentingan perorangan dan kelompok,” kata Wiranto.
Karena itu, Menko Polhukam mengharapkan partisipasi aktif dari masyarakat untuk tidak membiarkan berita hoaks dan berita negatif terus berkembang bebas di Indonesia. Sehingga pemerintah tidak perlu mengambil langkah membatasi akses media sosial.
“Jangan biarkan berita hoaks yang negatif, merusak, bohong, mengadu domba itu dibiarkan berkeliaran di negara Indonesia. Walaupun memang Kominfo telah melakukan langkah untuk men-take down dari situs yang menyebarkan berita itu. Tapi kan ada banyak,” katanya.
“Kita sudah men-take down kemarin saja ada kira-kira 700-an dan itu masih kecil,” lanjut Wiranto.
Perbaiki Regulasi
Menko Polhukam Wiranto menjelaskan bahwa permasalahan tentang media sosial bukan hanya permasalahan di Indonesia saja, banyak negara lain juga menghadapi kegiatan di media sosial yang tidak terkendali. Hal ini dikarenakan cepatnya perkembangan teknologi, namun tidak diimbangi dengan kecepatan regulasi yang mengaturnya.
“Jalan satu-satunya adalah dengan memperbaiki regulasi kita, yaitu UU ITE. Tapi kan tidak secepat kita membuat makanan atau pakaian. Ini kan membuat UU. Maka, selama belum terwujud, kami meminta kesadaran masyarakat supaya tidak mudah termakan berita hoaks, berita bohong,” katanya.
Menko Polhukam juga berjanji, jika keadaannya cukup aman, tidak akan ada perlambatan akses media sosial. “Saya sudah berjanji kalau keadaannya cukup aman. Tidak ada kegiatan medsos yang ekstrim, ya tidak akan diapa-apain. Ngapain cari kerjaan seperti itu dan kemudian merugikan berbagai kepentingan masyarakat,” ucap Menko Polhukam Wiranto.[]