TEKNOLOGI PEMILU
Sudah New Normal, Aspek Teknologi dalam RUU Pemilu Tak Terdengar
Cyberthreat.id - Analis politik Telkom University, Dedi Kurnia Syah Putra, melihat pembahasan teknologi dalam pemilu atau pilkada serentak masih sangat minim. Bahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu yang sedang disusun DPR tidak pernah terdengar mengemukakan isu teknologi sebagai salah satu faktor krusial dalam demokrasi di era 4.0.
"Konsep New Normal bukan solusi karena yang diperlukan adalah Next Normal, yakni mengalihkan aktivitas konvensional pada teknologi informasi," kata Dedi kepada Cyberthreat.id, Minggu (7 Juni 2020).
KPU menyatakan pemilu di Indonesia sudah akrab dengan teknologi. Menurut Dedi, penundaan pilkada serentak 2020 dari September ke Desember bukanlah waktu prediktif pandemi berakhir, tetapi insentif waktu bagi KPU menyiapkan pilkada mengikuti protokol physical distancing berikut teknologinya.
Namun, masalah terbesar adalah pemerintah tidak pernah serius menyiapkan infrastruktur teknologi yang memungkinkan adanya e-voting. Terlebih, tata kelola ranah cyber di Tanah Air belum ada. Padahal, dengan teknologi, penyelenggara pemilu dapat melakukan pemilihan tanpa melanggar protokol kesehatan yang diterapkan di masa pandemi.
"Rasanya, jika ada kemauan, pemerintah dapat berintegrasi dengan BUMN untuk menyiapkan, sebut saja Telkom, rasanya tidak sulit mewujudkan," ujarnya.
Dedi menuturkan, Indonesia dengan potensi besarnya telah menjadi incaran raksasa teknologi global. Termasuk transformasi digital yang terjadi secara masif menuju pertumbuhan ekonomi digital potensial. Di tengah absennya sejumlah regulasi yang diperlukan, pemilu atau pilkada Indonesia ternyata masih memiliki mindset konvensional dan tradisional.
"Memang bagian tersulit adalah membawa masyarakat beradaptasi dengan kondisi informatif dan itu pasti memerlukan waktu, jika tidak segera dimulai hari ini, maka akan semakin lama terwujud cita-cita teknologi pemilu bagi Indonesia."
Dedi mencontohkan, selain infrastruktur cyber yang sudah dibangun KPU, salah satu teknologi yang mendesak perlu dihadirkan di TPS adalah pemindai wajah. Dengan begitu, pemilih tidak akan dapat memilih di dua tempat karena wajah sudah dikenali. Selain itu, teknologi pemindai wajah juga berfungsi mengukur akurasi jumlah pemilih tiap TPS dengan hasil pilihan.
"Teknologi akan membawa dua sisi yang harus dibangun bersamaan, ketersediaan teknologi fisik, dan kesiapan masyarakatnya."
Cyberthreat.id mencoba mengonfirmasi isu teknologi dalam RUU pemilu ke Anggota Komisi II DPR Mardani Ali Sera, tetapi belum mendapat jawaban hingga berita ini diterbitkan.
Bug Bounty
Pakar hukum cyber dari Tordillas, Awaludin Marwan, mengapresiasi upaya KPU sekarang yang telah memasukkan unsur teknologi dalam membantu efektivitas dan efisiensi tahapan.
Misalnya membangun infrastruktur cyber melalui pemutakhiran data pemilih (Sidalih); verifikasi parpol (Sipol); kandidasi (Silon); Pendapilan (Sidapil); proses rekapitulasi hasil pemilu (Situng); hingga pengadaan barang dan jasa melalui sistem dan LPSE.
"Saya berharap ada bug bounty sih," ujarnya kepada Cyberthreat.id, Minggu (7 Juni 2020).
Awaludin mengatakan, banyak hacker di Tanah Air yang peduli dengan KPU sehingga mereka melakukan penetration test (pentest) terhadap infrastruktur cyber tersebut. Masalahnya, ketika niat baik itu disalurkan, para hacker itu dianggap sebagai kriminal sementara KPU sebenarnya bisa melakukan apresiasi seperti menerbitkan sertifikat.
"Jadi, KPU jangan asal main klaim sistemnya aman, diuji publik saja belum," ujar Awal yang turut memberikan bantuan hukum kepada sejumlah white hacker karena melakukan pentest.
Terpisah, Anggota Bawaslu RI, Fritz Edward Siregar, mengatakan sejak pandemi Covid-19 bergulir, jajaran Bawaslu banyak dibantu oleh kehadiran teknologi informasi. Protokol physical distancing dan bekerja di rumah (WFH) tidak mengganggu fungsi penanganan pelanggaran dalam tahapan pilkada. Artinya, Bawaslu masih bekerja.
Anggota Bawaslu, kata dia, melakukan komunikasi via WA, rapat virtual, bahkan konferensi pers online hingga Webinar bersama dengan jajaran daerah.
"Fungsi pengawasan kami tetap berjalan dan selama ini kami selalu berkomunikasi pakai Zoom dan WA," ujar Fritz.