Di Inggris dan Wales, Pelaku Grooming Paling Banyak Beraksi di Facebook

Ilustrasi

Cyberthreat.id - Data dari Kepolisian di Inggris dan Wales menyatakan Facebook mendominasi kasus grooming di media sosial. Dua tahun terakhir terjadi 10.119 kasus grooming di media sosial di mana 55% atau sekitar 5.784 kasus terjadi di platform Facebook.

Grooming adalah modus baru pelecehan seksual kepada anak secara online. Pelaku akan berupaya untuk membangun hubungan, meraih kepercayaan, dan menjalin ikatan emosional dengan seorang anak atau remaja untuk kemudian melakukan manipulasi, eksploitasi, dan pelecehan.

Pelaku grooming akan meyakinkan dan memaksa korbannya untuk mengirimkan gambar maupun video telanjang dan alat kelamin. Pesan dikirim melalui direct message (DM) media sosial atau lewat aplikasi perpesanan seperti WhatsApp, Telegram, dan Line.

Kepolisian Inggris dan Wales mengeluarkan data-data tersebut setelah ada permintaan informasi yang diajukan oleh badan amal perlindungan anak, NSPCC. Catatan tersebut mencakup data pelecehan grooming selama 30 bulan pertama sejak diperkenalkannya undang-undang yang membuat komunikasi seksual dengan seorang anak menjadi pelanggaran eksplisit.

Hingga Oktober lalu, tercatat pelanggaran Grooming terjadi sebanyak 23% dan sampai saat ini data-data terbaru belum tersedia. Artinya, ada potensi jumlah kejahatannya meningkat.

Selain Facebook, platform lainnya seperti Instagram dan Snapchat juga menjadi tempat pelecehan dan grooming terhadap anak. Sejauh ini Instagram tercatat sebanyak 1.630 kasus dan snapchat sebanyak 1060 kasus. Sisanya terdiri dari sejumlah kasus di platform lain seperti pesan teks, game online, atau situs web.

Regulasi Baru

Kepala Eksekutif NSPCC, Peter Wanless, mengatakan dari fakta dan informasi kasus grooming tersebut, menunjukkan bahwa Inggris dan Wales memerlukan aturan baru terkait dengan pelecehan seksual anak di sosial media.

Wanless menyinggung soal kebijakan baru Facebook yang mengekripsi pesan secara end-to-end. Hal tersebut, kata dia, dinilai bakal menguntungkan para penjahat.

Selain itu, pandemi Covid-19 yang menimbulkan kebijakan Lockdown di berbagai negara membuat anak-anak lebih banyak menggunakan internet,l sehingga menjadi kesempatan bagi para predator seksual anak beraksi.

Wanless menyerukan pemerintah untuk terus mendorong RUU Kekerasan Online yang diusulkan dalam waktu 18 bulan ke depan.

"Pelecehan anak adalah kebenaran yang tidak nyaman bagi bos teknologi karena gagal membuat situs mereka aman dan memungkinkan pelanggar hukum untuk menggunakannya sebagai taman bermain menjebak anak-anak kita. Sekarang adalah saatnya untuk menyelesaikan regulasi dan membuat pengawas untuk meminta pertanggungjawaban bos-bos teknologi. Terutama jika platform mereka membuat anak-anak mengalami bahaya," ujar Wanless.

Juru bicara Facebook membantah jika terjadi eksploitasi anak di platformnya. dalam keterangannya Facebook mengatakan platform mereka telah mengembangkan teknologi yang secara proaktif menemukan dan menghapus konten seksual anak dengan cepat.

"Kami memiliki tim konten dan keamanan yang terdiri atas lebih dari 35.000 orang yang menyelidiki laporan dari komunitas kami dan berupaya menjaga platform kami tetap aman. Tim kami juga bekerja sama dengan para ahli perlindungan anak dan penegakan hukum, melaporkan konten secara langsung ke spesialis," ungkap Facebook.[]

Redaktur: Arif Rahman