Alfons: Jurnalis Perlu Pahami Pola Teror di Zaman Digital

Ilustrasi

Cyberthreat.id - Pakar IT dari Vaksincom Alfons Tanujaya mengatakan jurnalis yang hidup di era digital memiliki tantangan yang jauh lebih rumit dalam bekerja. Ia menanggapi serangan doxing, teror, dan intimidasi yang menimpa jurnalis Detikcom setelah menulis berita terkait Presiden Joko Widodo pada Selasa 26 Mei 2020.

"Namanya juga teror di zaman digital bisa dengan berbagai cara. Dalam kasus (doxing) ini dia (wartawan) adalah korban," kata Alfons kepada Cyberthreat.id, Kamis (28 Mei 2020).

Jika melihat latar belakang kasus tersebut, Alfons melihat cara-cara yang dilakukan oleh orang yang tidak menyukai si penulis berita cukup pintar. Jurnalis yang menjadi korban mengalami kekerasan yang dimulai dari bully di media sosial hingga ancaman pembunuhan melalui WhatsApp.

Nama jurnalis, nomor telepon, dan alamat (informasi pribadi) disebar di internet, dari Facebook hingga Youtube. Salah satu akun yang menyebarkan adalah Salman Faris yang mengunggah beberapa screenshot jejak digital penulis untuk mencari-cari kesalahannya, meskipun isinya tak terkait berita yang dipersoalkan.

Situs Seword juga melakukan hal serupa dan menyebarkan opini yang menyerang jurnalis serta media yang bersangkutan. Kemudian korban mengalami intimidasi lantaran diserbu pengemudi ojol yang membawa makanan kepadanya. Padahal korban tak pernah memesan makanan melalui aplikasi.

"Orang yang enggak suka sama wartawan itu akan mencari banyak cara untuk doxing. Misalnya ketahuan alamatnya, itu bisa dikirim ojol seperti yang terjadi dalam kasus ini," ujarnya.

"Kalau saya lihat, bisa jadi pengirim ojol ini bikin akun palsu lalu kirim banyak makanan, tapi sebenarnya ada juga teknik lain."

Jurnalis di era digital perlu mendapatkan pemahaman serta faktor-faktor apa saja yang membuat jiwa dan psikis mereka terancam. Menurut Alfons, pihak-pihak yang tidak menyukai jurnalis pasti ada. Itu sebabnya jurnalis harus berhati-hati menjaga data pribadi hingga menerapkan keamanan dalam bekerja menggunakan perangkat digital.

Seperti diketahui, kekerasan verbal di media sosial bisa berdampak psikis. Terkadang hal itu jauh lebih efektif menghancurkan seseorang ketimbang serangan secara fisik. Yang paling parah menurut Alfons adalah ancaman pembunuhan terhadap jurnalis yang menurut dia terlalu berlebihan.

"Keterlaluan memang kalau sampai diancam dibunuh begitu karena wartawan kan sebenarnya menjalankan tugasnya."

"Tapi memang si wartawan ini kan diserang secara di dunia maya dan dunia nyata," ujarnya.