Pelanggan EasyJet yang Terdampak Kebocoran Data Didorong Menuntut Kompensasi

Ilustrasi

Cyberthreat.id - Pelanggan maskapai EasyJet terdampak kebocoran data yang baru-baru ini terjadi didorong untuk menuntut kompensasi 2000 poundsterling (Rp 36 juta) per orang. Kompensasi karena data dan informasi sensitif milik pelanggan telah diretas sementara jumlah pelanggan yang terdampak mencapai 9 juta orang.

"(Pelanggan) sedang didorong untuk menuntut maskapai penerbangan agar mendapatkan kompensasi sebanyak £ 2.000 per penumpang karena rencana perjalanan mereka diretas," tulis Gizmodo, Selasa (26 Mei 2020).

Jika memang benar pelanggan berencana mengajukan tuntutan tersebut, EasyJet tentu bisa hancur karena klaim kompensasi bisa mencapai £ 18 miliar poundsterling (Rp 326 triliun). Menurut perkiraan pakar hukum, putusan pengadilan setidaknya baru bisa didapatkan dalam dua tahun.

Sementara itu, EasyJet sejak awal telah membuat situs web pelanggaran data di alamat theeasyjetclaim[.]com untuk pelanggan yang terdampak guna menyampaikan klaim. Meskipun di dalam situs tersebut perusahaan tidak menawarkan ganti rugi secara langsung

Tom Goodhead dari firma hukum PGMBM mengatakan EasyJet dinilai gagal dalam menunaikan tanggung jawabnya dalam menjaga data yang telah dipercayakan pelanggan kepada perusahaan. PGMBM adalah firma hukum yang melakukan tuntutan kepada British Airways beberapa tahun lalu untuk kasus serupa.

"Ini adalah pelanggaran data monumental dan kegagalan tanggung jawab mengerikan yang berdampak serius pada pelanggan EasyJet. Informasi pribadi yang kami percayai dipegang oleh perusahaan sementara pelanggan berharap perlindungan terhadap data yang telah dipercayakan," ungkap Tom.

PGMBM sebelumnya dikenal sebagai SPG Law yang merupakan cabang perusahaan Amerika Serikat (AS) Sanders Phillips Grossman. Dalam hal ini, aturan di AS dan Inggris sedikit berbeda dalam Group Litigation Order (GLO) terkait gugatan class action di dua negara berbeda.

Potensi masalah di kasus-kasus GLO diharapkan dapat mengatasi sejumlah kendala prosedural, seperti yang ditemukan oleh mantan direktur Richard Lloyd ketika Google berhasil memperbaiki gugatan GLO terhadap Safari Workaround yang terkenal untuk cookie pelacakan iklan.

Beruntung bagi Lloyd karena Pengadilan Banding membalikkan keputusan itu dan sedikit melonggarkan aturan tentang siapa yang dapat dihitung sebagai bagian dari "kelas" orang yang terkena dampak dugaan kesalahan.

Supermarket Morrisons, di sisi lain, lolos dari gugatan GLO awal tahun ini setelah Mahkamah Agung mengatakan tidak bertanggung jawab atas tindakan auditor nakal yang mencuri seluruh informasi penggajian dan membuangnya secara online.