Anggota DPR: Perkuat Keamanan Siber Diplomat, Siapkan Payung Hukumnya

Ilustrasi hacker

Cyberthreat.id - Anggota Komisi I DPR RI -- membidangi pertahanan, luar negeri, komunikasi dan informatika serta intelejen -- meminta pemerintah serius meningkatkan keamanan siber perangkat elektronik yang digunakan oleh para diplomat Indonesia di luar negeri.

Permintaan itu disampaikan Anggota Komisi I DPR RI Sukamta terkait pemberitaan peretasan komputer milik seorang diplomat Indonesia di Canberra, Australia, pada 3 Januari lalu.

Seperti dilaporkan The New York Times baru-baru ini, peretasan dilakukan menggunakan email berisi  alat serangan siber tak terlihat yang disebut 'Aria-body' dan belum pernah terdeteksi sebelumnya. Program jahat itu bahkan dapat mengambil alih komputer dan bekerja secara otomatis mengirim email ke kantor pemerintahan Australia. (Baca: Terungkap! Cara Hacker China Ambil Alih Komputer Diplomat Indonesia dan Australia).

“Saat ini serangan siber menjadi ancaman yang semakin nyata, meskipun tidak berbentuk secara fisik tetapi bisa menghadirkan gangguan politik yang serius. Jangan sampai perundingan atau kebijakan kita bocor karena jalur yang kita miliki tidak aman,” kata Sukamta seperti dilaporkan Antara, Rabu (13 Mei 2020).

Menurut dia, kalau keamanan siber diplomat Indonesia lemah, negara lain akan enggan berkomunikasi dalam isu-isu sensitif. Pun kalau bahan-bahan diplomasi bocor karena email atau perangkat komunikasi berhasil dibobol, isinya bisa diketahui negara lain.

“Jelas ini akan memperlemah diplomasi kita karena akan mudah diantisipasi negara lain. Kami harap pihak Kemenlu perlu meningkatkan kewaspadaan soal ini dan bisa membuat protokol keamanan siber untuk para diplomat kita,” katanya.

Menurut Sukamta, pihaknya sudah sering mengingatkan pemerintah untuk mengantisipasi serangan siber.

Menurut Sukamta, peristiwa ini menunjukkan Indonesia memerlukan segera payung hukum terkait keamanan siber.

“Dengan adanya kasus bobolnya jutaan data pengguna Tokopedia dan Bhinneka  serta diretasnya perangkat komputer milik diplomat Indonesia, sudah semakin mendesak untuk bisa diwujudkan UU tentang Ketahanan dan Keamanan Siber yang pada periode lalu belum bisa diselesaikan,” katanya.

Menurut Sukamta, belum adanya payung hukum ini membuat koordinasi antar sektor menjadi ruwet. Misal dalam soal peretasan komputer diplomat, siapa yang paling bertanggung jawab, apakah pihak Kemenlu, BIN atau BSSN?

“BIN menyatakan sudah mengetahui keberadaan Aria-Body yang digunakan oleh kelompok Naikon yang diduga berasal dari China dalam 5 tahun terakhir, namun masih ada perangkat komputer diplomat yang berhasil diretas,” katanya.

Dia melanjutkan, hal ini menunjukkan masih ada kelemahan dalam ketahanan siber Indonesia, yang boleh jadi bukan karena soal kemampuan teknologi tetapi dari sisi koordinasi antar instansi. Itu sebabnya, kata dia, penting adanya payung hukum.

Sukamta juga mengingatkan tentang meningkatnya ancaman siber selama pandemi Covid-19, saat orang-orang lebih banyak terkoneksi ke internet.

“Termasuk dalam hal ini misi diplomasi akan banyak melakukan interaksi secara online, mengingat di berbagai negara diberlakukan lockdown,” ujarnya.[]