Narkoba Masuk E-commerce? Waspada Barang Haram Mudah Diperdagangkan

Ilustrasi: penyitaan narkoba

Cyberthreat.id - Pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel mengatakan masyarakat harus meningkatkan kewaspadaan terhadap peredaran narkoba di era digital yang memanfaatkan berbagai teknologi seperti melalui platform dan aplikasi.

Menurut dia, digitalisasi yang semakin masif membuat narkoba semakin gampang diperdagangkan, menjangkau wilayah yang lebih luas, meraih pelanggan yang lebih banyak, hingga aktivitas yang sulit dilacak.

"Ketika bandar kirim narkoba pakai ojek online atau perusahaan ekspedisi, siapa yang bisa cek isinya? Tidak ada," kata Reza Indragiri kepada Cyberthreat.id, Minggu (10 Mei 2020).

Hadirnya solusi teknologi di ruang cyber membuat aktivitas online dilirik sebagai media utama pertukaran informasi (seperti pemesanan barang dan berkomunikasi) hingga media pembayaran transaksi narkoba.

Kondisi ini, kata Reza, bakal dimanfaatkan pelaku kriminal termasuk menggunakan transaksi menggunakan mata uang digital (misalnya Bitcoin).

"Itu (mata uang digital) juga sulit dilacak. Bagi saya poinnya tetap adalah narkoba semakin mudah diperdagangkan," ujarnya.

Survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2018 menyatakan pengguna internet Indonesia sudah mencapai 171 juta atau sekitar 64 persen dari jumlah populasi penduduk. Jumlah ini diprediksi naik menjadi 200 juta pengguna internet di tahun 2020.

Jika membandingkan pengguna internet dengan ratusan juga pengguna media sosial di Indonesia, hampir dipastikan lebih dari 80 persen pengguna internet di Tanah Air adalah pengguna media sosial, sementara lebih dari setengahnya adalah pengguna platform e-commerce.

"Jangankan pakai metode canggih, memasarkan narkoba online di Indonesia adalah peluang besar."

Pekan lalu artis Roy Kiyoshi ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka dengan kasus penyalahgunaan narkotika. Kasat Narkoba Polres Metro Jakarta Selatan Kompol Vivick Tjangkung mengatakan, Roy Kiyoshi, awalnya mengonsumsi obat-obatan jenis psikotropika dengan resep dokter.

Kemudian, dia berhenti konsultasi dengan dokter terkait penggunaan psikotropika lalu membelinya secara online tanpa resep dokter. Kompol Vivick Tjangkung mengatakan polisi akan menyelidiki lebih lanjut karena alasan Roy Kiyoshi menghentikan konsultasi dan memilih membeli obat terlarang secara online perlu didalami.

"Kita kan belum tanya dokter yang menangani dia satu tahun yang lalu. Harus tanyakan keterangan dokter bener apa enggak," ujar Vivick.

Awal April lalu Subdit I Ditresnarkoba Polda Metro Jaya (PMJ) berhasil mengungkap jaringan penjual narkoba dan home industri tembakau Gorila di empat kota besar yakni Jakarta, Tangerang Selatan, Bandung, dan Cirebon.

Jaringan narkoba ini memanfaatkan kemajuan teknologi informasi dalam melakukan operasional bisnisnya. Ketika itu, Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus mengatakan jaringan ini sudah memutar uang senilai Rp 4,5 miliar dalam bisnis haram ini.

Teknologi yang digunakan antara lain komunikasi via media sosial Instagram, transaksi pembayaran menggunakan Bitcoin, menggunakan jasa pengiriman online, dan bibit Canabinoid dicampur dengan tembakau sehingga menjadi produk Tembakau Gorila.