2030, Indonesia Butuh 17 Juta Tenaga Kerja Melek Digital yang Berkarakter

Ilustrasi

Cyberthreat.id - Sekretaris utama Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Syahrul Mubarak, mengatakan Indonesia di tahun 2030 membutuhkan setidaknya 17 juta tenaga kerja yang melek digital untuk mengimbangi perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Jumlah itu sudah harus dipersiapkan sejak dini seiring pertumbuhan ekonomi digital yang amat pesat.

"Harus dibarengi dengan peningkatan kesadaran dan kapabilitas terhadap keamanan siber," kata Syahrul dalam Pesantren Kilat Digital - Cyber Security Awareness via channel YouTube, Rabu (6 Mei 2020).

Teknologi, kata dia, bagaikan pedang bermata dua yang sebenarnya dapat diminimalisasi dampak negatifnya, baik berupa kerugian fisik atau ekonomi maupun kerugian non-fisik atau sosial.

Di tahun 2030 penguasaan teknologi digital merupakan kunci perkembangan ekonomi digital suatu negara. Syahrul mencontohkan kasus kebocoran data (data breach) yang memungkinkan terjadinya penipuan, phishing, dan skenario serangan siber lainnya. Aspek teknologi dan SDM sangat mempengaruhi dalam serangan ini.

"Masyarakat yang minim edukasi keamanan siber mudah tertipu oleh penipuan maupun phishing. Ini akan berdampak pada segi ekonomi. Baru-baru ini data breach terjadi di salah satu platform toko online. Ini sudah bentuk ancaman ke depan," ujarnya.

Hingga awal 2020 terdapat sekitar 3000 startup di Indonesia dengan tiga sektor pertumbuhan luar biasa yakni On Demand Service, Financial Technology (Fintech), dan E-Commerce. Menurut Syahrul, anak-anak muda berkarakter harus dipersiapkan menuju 2030 dengan jumlah startup dan teknologi yang akan terus berkembang.

"2030 adalah awal bonus demografi bagi Indonesia. Anak-anak muda akan menjadi kunci sehingga cara-cara berpikir konvensional harus ditinggalkan karena tidak cocok dengan zaman serba cepat dan serba mudah."

Pemahaman Spiritual

Syahrul juga memaparkan kerugian non-fisik sebagai akibat konten-konten negatif seperti hoaks, disinformasi, ujaran kebencian, indoktrinasi negatif yang mengarah pada fanatisme sempit serta perubahan pola pikir yang menyesatkan terhadap pandangan seseorang.

Hal ini merupakan tantangan bagi anak-anak muda zaman sekarang, dimana arus informasi beredar secara luas dalam gelombang besar serta tidak terkendali.

"Ini dapat merusak mental generasi muda. Di era digital yang mendisrupsi segala hal, norma dan nilai mendapat terpaan eksesif dari zaman yang berubah. Sehingga, diperlukan kesadaran dan pemahaman menyeluruh baik dari segi material maupun spiritual," tambah Syahrul.

Fenomena hoax di era pasca kebenaran atau 'post-truth' dapat menghancurkan tatanan sosial. Dalam kamus Oxford, makna post-truth adalah mengaburkan publik dari fakta-fakta objektif.

Singkatnya, sebuah omong kosong atau pernyataan yang tidak sesuai fakta, telah menjadi strategi dalam rangka menggaet pembenaran atas tujuan-tujuan tertentu.

"Kemudahan akses informasi di era digital juga telah menciptakan bentuk kebenaran opini di berbagai belahan dunia, termasuk di negara-negara Islam."

"Sehingga kemampuan publik untuk membedakan antara kebenaran dan retorika menjadi tantangan yang harus dihadapi, terutama untuk generasi milenial yang mendominasi penggunaan media sosial," jelas Syahrul.

Redaktur: Arif Rahman