Budaya Belajar Online Perlu Diatur Regulasi
Cyberthreat.id - Anggota Tim Pelaksana Dewan TIK Nasional (Wantiknas), Garuda Sugardo, menyebut pembelajaran jarak jauh (PJJ) atau dikenal juga belajar online diharapkan bisa menjadi budaya baru di dunia pendidikan Indonesia. PJJ, kata dia, adalah gambaran bagaimana perlunya Indonesia mengubah mindset sekaligus menyadarkan pola pikir belajar di kelas yang selama ini dikenal, ternyata dapat dilakukan secara virtual atau belajar jarak jauh memanfaatkan TIK.
"Saat PSBB atau setelah Covid-19 nanti selesai di Indonesia, mudah-mudahan ini menjadi budaya baru kalau kita belajar tidak harus di sekolah, tetapi bisa di mana saja tanpa mengenal waktu dan jarak," kata Garuda dalam konferensi video yang diadakan Wantiknas, Kamis (9 April 2020)
Garuda melihat beberapa ruang kolaborasi yang bisa dilakukan multi stakeholder untuk mewujudkan budaya PJJ. Misalnya kolaborasi antara operator/platform dengan beberapa platform PJJ seperti Ruangguru dan Quipper. Kedua operator ini telah memberikan kuota gratis untuk mengakses platform PJJ sehingga kolaborasi serupa harus dilegalkan.
Garuda juga menyinggung soal platform video konferensi yang membuat pembelajaran tradisional, yang biasanya dilakukan di kelas, dapat lebih diperluas manfaatnya dengan belajar online melalui aplikasi melibatkan berbagai teknologi.
"Sistem PJJ yang selama ini sudah ada harus kita jadikan sebagai sebuah kebutuhan yang mendesak. Kalau dulu orang menggunakan telepon, menggunakan internet, sekarang sudah seperti di ruang rapat, di ruang kelas."
Budaya baru ini sejalan dengan revolusi industri 4.0 yang sudah dicanangkan Presiden Joko Widodo. Oleh karena itu, Garuda menekankan berbagai kolaborasi perlu terus diperkuat untuk membuat budaya baru pembelajaran online pada sistem pendidikan di Indonesia.
"Kuncinya adalah kolaborasi sistem pembelajaran online untuk menjawab making Indonesia 4.0 dari Presiden Jokowi. Jadi, kolaborasi stakeholder adalah kunci keberhasilan pembangunan SDM Iptek dan PJJ, dan di sini yang paling utama adalah e-leadership dari Kemendikbud, kemudian juga provider, dan operator ada ditengah," ujarnya.
Sementara itu, pemerhati TIK, Mundar Wiyarso, mengatakan kolaborasi juga harus datang dari lembaga pendidikan bersama operator.
"Bahwa sebaiknya lembaga pendidikan itu, karena dia bisa melakukan efisiensi terhadap pengelolaan secara offline, maka seharusnya bagian biaya itu bisa diserahkan atau diberikan paket buat para mahasiswanya," kata Mundar.
"Saya membayangkan nantinya universitas tidak perlu punya gedung bagus, enggak perlu punya gedung mewah. Tapi, siapkanlah infrastruktur (cyber), server kedepannya yang sehingga nanti saling sinergi antara operator dengan lembaga pendidikan. Jadi, ke depan tidak perlu lagi gedung bagus, tidak perlu kantor-kantor yang bagus untuk sebuah pendidikan." ungkap Mundar.
Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI), Ririek Ardiansyah, sepakat dengan ruang kolaborasi tersebut. Ia menilai perlunya stakeholder lain untuk saling bahu-membahu bersama operator agar dapat meringankan beban atau memberikan bantuan kepada perguruan tinggi ataupun mahasiswa demi keberlangsungan PJJ online.
"Enggak fair juga kalau semuanya ini dibebankan kepada operator kan. Sehingga, menurut saya, stakeholder yang lain juga mesti ikut berkontribusi di sini karena ada juga stakeholder yang saya lihat juga mestinya bisa mengambil peran di sini. Kami (ATSI) harapkan tidak semuanya dibebankan kepada operator," kata Ririek. []
Redaktur: Arif Rahman