BNPT: Produk Digital Teroris Sudah Profesional
Jakarta, Cyberthreat.id - Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengendus potensi ancaman terorisme siber (cyberterrorism) yang terus meningkat. Indikasi itu terlihat dari kemampuan update teknologi pelaku teror di Tanah Air.
Kepala Subdirektorat Kontrapropaganda BNPT Kolonel TNI, Sudjatmiko, mengatakan teroris sudah menciptakan produk digital. Produk berupa video, meme dan narasi yang bermuatan konten radikal disebar ke berbagai jalur komunikasi seperti Telegram, email hingga situs web.
Konten radikal inilah yang melahirkan sel-sel baru teroris di berbagai penjuru Indonesia. Doktrin secara online mengakibatkan terjadinya kompartemen sehingga sel-sel teroris itu terputus, tapi jumlah ancaman makin banyak.
"Kasus di Medan, Tangerang dan Yogyakarta tidak terkait karena mereka terdoktrin online. Jika ditanya siapa pemimpinnya mereka tidak tahu," kata Sujatmiko usai diskusi di Kementerian Komunikasi dan Informatika, Jakarta, Selasa (28/05/2019).
Pada beberapa kelompok tertentu, kemampuan teroris sudah sampai level membuat platform dan aplikasi. Menurut Sujatmiko, langkah update teknologi mereka sejauh ini masih dalam tahap perencanaan dan persiapan.
"Kalau kita sebut ini adalah potensi ancaman bahaya ke depan," ujarnya.
Bersama timnya Sujatmiko kerap melakukan analisis produk digital para teroris. Hasilnya cukup mengejutkan karena produk itu ternyata sudah bisa dikategorikan sebagai produk yang dikerjakan para profesional.
"Mereka kalau bikin film bagus, video dan narasinya luar biasa dan mereka tahu hal-hal baru."
Marsh & McLennan Companies, perusahaan konsultan asal Amerika Serikat, dalam Cyber Handbook 2019 menyatakan secara tradisional sebagian besar serangan dunia maya dilakukan organisasi kriminal kerap berakhir dengan insiden kegagalan.
Semua itu berubah pada 2017 saat terjadi insiden WannaCry dan NotPetya. Kedua serangan ini mempengaruhi organisasi di lebih dari 150 negara, memicu gangguan bisnis dan kerugian finansial lebih dari 300 juta USD mengakibatkan kerusakan reputasi hingga kehilangan data pelanggan.
Desember 2017 pemerintah AS mempelajari pola serangan WannaCry yang dihubungkan dengan peretas yang di dukung Korea Utara.
WannaCry dan NotPetya ternyata mampu memaparkan risiko sistemik dan mempengaruhi beragam bisnis menunjukkan potensi eskalasi ancaman terorisme siber. Di Indonesia, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) telah memetakan 10 sektor rawan serangan siber sejak 2018.