Ini Kata Jubir BIN Soal Crypto AG dan Peralatan Komunikasi
Cyberthreat.id - Juru bicara Badan Intelejen Negara (BIN) Wawan Purwanto mengatakan Indonesia tidak mungkin membeli peralatan dan teknologi dari pihak luar untuk kemudian langsung digunakan. Menurut dia, BIN bersama multi stakeholder selalu melakukan modifikasi dan pengembangan teknologi melalui berbagai kerja sama, termasuk penelitian dan pengembangan (Litbang).
"Perlu ada perubahan kunci-kunci, perubahan dan modifikasi (teknologi) dengan tujuan agar kita tidak tersadap dan ini terus dilakukan," kata Wawan Purwanto saat melakukan media visit ke kantor Cyberthreat.id, Rabu (19 Februari 2020).
Pada 11 Februari 2020, laporan ekslusif The Washington Post menyatakan Crypto AG sebagai perusahaan pemasok tunggal teknologi komunikasi mata-mata, militer, dan para diplomat di dunia. Laporan itu membuktikan bahwa Crypto AG adalah sebuah perusahaan yang ternyata dimiliki CIA bersama kemitraan strategis dengan intelejen Jerman.
Crypto AG diketahui telah menjual peralatan dan teknologinya ke 120 negara di dunia termasuk Indonesia. Dalam melihat permasalahan tersebut, BIN menurut Wawan menjalankan fungsi pencegahan dengan mengikat nota kesepahaman (MoU) bersama lembaga negara berbasis teknologi serta kolaborasi dengan berbagai universitas.
"Kita itu kerja sama dengan ITB, UI, ITS, Unpad dan universitas lain yang berbasis teknologi. Kalau di lembaga negara ada BSSN yang merupakan core-nya (cyber) termasuk penemuan-penemuan terkini. Memang ini tidak pernah dirilis untuk kepentingan internal dan terutama kepentingan negara," ujar Wawan.
Perang Teknologi
Saat ini terjadi perang dagang dan perang teknologi dua poros kekuatan dunia antara Amerika Serikat (AS) kontra China. Menurut Wawan, perang teknologi bisa dilihat dari berbagai sisi berbeda, salah satunya kepentingan konsumen yang bakal memiliki banyak pilihan.
Dalam hal ini, kata dia, politik luar negeri Indonesia yang menganut bebas-aktif bisa menyesuaikan dengan kepentingan konsumen.
"Ini akan membuat nilai jual dan nilai tambah bagi Indonesia. Mana harga yang murah, mana keamanan yang bisa diperbaiki dan sebagainya," ujar Wawan.
Kemudian ketersediaan komponen dan kecepatan komponen turut menentukan. Kalau semua komponen inden (pembelian barang dengan membayar dan memesan terlebih dahulu), maka Indonesia bisa mencari solusi dengan komponen KW 1 atau KW 2.
"Kalau inden, itu apakah tersedia komponen KW-nya. Jadi, perang dagang itu memanjakan konsumen. Kita tinggal lihat mana yang disesuaikan dengan kondisi yang ada."
Wawan juga menuturkan sudut pandangnya dalam melihat perkembangan teknologi. Ia menanggapi kasus Crypto AG yang disebut-sebut memakan korban penyadapan, pengintaian, dan kebocoran informasi dari berbagai negara. Menurut dia, perkembangan teknologi dan modifikasi mutlak dan tidak bisa dihindari.
"Dulu kita tahu Nokia menguasai teknologi dan pasar, sekarang perusahaan itu bangkrut. Nah, seperti itulah teknologi. Sekarang itu eranya terbuka. Pendekatan apapun bisa dilakukan. Kalau tidak bisa jalur resmi ya jalur lain ditempuh," ujarnya.
Konsumen, tegas Wawan, akan meninggalkan peralatan dan teknologi yang tidak menghargai perlindungan privasi.
"Makanya, kalau ada persaingan kita ikuti, persaingan teknologi, agitasi (misalnya men-downgrade merek tertentu). Itu semua kan perang opini. Konsumen itu menangkap bagaimana prosesnya."