Senator AS Usulkan RUU Moratorium Facial Recognition

Ilustrasi | Foto: freepik.com

Cyberthreat.id – Dua Senator Partai Demokrat Amerika Serikat mengusulkan undang-undang moratorium penggunaan teknologi pengenalan wajah (facial recognition) bagi pemerintahan federal dan penegak hukum federal.

Mereka, Cory Booker dan Jeff Merkley, meminta agar penggunakan teknologi tersebut menunggu keputusan Komisi Kongres AS.

“Rancangan undang-undang yang diajukan tersebut diberi nama Ethical Use of Artificial Intelligence Act,” demikian tulis Venture Beat, Rabu (12 Februari 2020).

Untuk membahas RUU (PDF) tersebut, mereka akan membentuk Komisi Kongres yang beranggotakan 13 orang yang ditunjuk oleh presiden, anggota Kongres, petugas imigrasi, dan penegak hukum federal, serta pakar privasi dan teknologi. Selain itu, enam anggota komite berasal dari komunitas yang paling terkena dampak penggunaan pengenalan wajah.

Tujuan pembentukan Komisi ini, “untuk memastikan pengenalan wajah tidak menghasilkan bias atau hasil yang tidak akurat,” tulis Venture Beat.

Selain itu, (2) untuk menghalangi upaya penegakan hukum mengidentifikasi anak-anak yang hilang dan dieksploitasi, dan (3) menciptakan keadaan pengawasan terus-menerus terhadap individu yang tidak memungkinkan untuk  anonimitas.


Berita Terkait:


Sekadar diketahui, saat ini teknologi pengenalan wajah sedang disebarluaskan ke kepolisian dan lembaga pemerintah. Dalam uji cobanya, teknologi ini memiliki kinerja yang kurang akurat untuk orang kulit berwarna dan perempuan.

Ketidakakuratan tersebut dibuktikan dengan sebuah studi pada Desember 2019 oleh National Institute of Standards and Technology (NIST). Hasilnya, sistem pengenalan wajah hingga 100 kali lebih salah mengidentifikasi orang Asia-Amerika atau Afrika-Amerika.

Rencananya, dalam RUU tersebut juga akan melarang pemerintah federal atau lokal untuk menggunakan dana federal untuk membeli teknologi pengenalan wajah tersebut.

Booker juga mendukung Algorithmic Accountability Act yang mengusulkan denda bagi perusahaan yang perangkat lunaknya menunjukkan bias algoritmis.

Pekan lalu, seorang pejabat Departemen Dalam Negeri AS mengatakan kepada Kongres bahwa lebih dari 43,7 juta orang sejauh ini telah dipindai dengan Layanan Verifikasi Wisatawan (Traveler Verification Service) saat melintasi perbatasan, keluar-masuk kapal pesiar, dan tempat lainnya.

Sementara di Eropa, sebelumnya Komisi Uni Eropa sempat mempertimbangkan moratorium selama lima tahun untuk teknologi pengenalan wajah. Sayangnya, menurut laporan Financial Times, Komisi UE kini tidak lagi meneruskan kebijakan moratorium tersebut.[]

Redaktur: Andi Nugroho