FBI: Korban Kejahatan Internet di 2019 Merugi Rp47,8 Triliun

Laporan pengaduan kejahatan internet yang diterima FBI selama 2019

Cybethreat.id - Divisi Pusat Pengaduan Kejahatan Internet (Internet Crime Complaint Centre (IC3) FBI, Amerika Serikat, baru-baru ini menerbitkan Laporan Kejahatan Internet 2019. Laporan itu mengungkap bahwa kejahatan dunia maya menyebabkan kerugian pada perseorangan dan bisnis sebesar US$ 3,5 miliar atau setara Rp 47,8 triliun. Angka itu didapat dari 467.361 laporan yang diterima selama tahun 2019.

"Keluhan yang paling sering dilaporkan adalah phishing dan tipu muslihat serupa, penipuan non-pembayaran/non-pengiriman, dan pemerasan," kata laporan itu seperti dilaporkan Bleepingcomputer.com, Selasa (11 Februari 2020).  

"Keluhan yang paling paling besar kerugiannya secara keuangan menyangkut peretasan email bisnis, scammer yang berkedok kencan online,  dan spoofing, atau meniru akun seseorang atau vendor yang dikenal korban untuk mengumpulkan informasi pribadi atau keuangan," tambah laporan itu.

Kepala IC3 FBI Donna Gregory mengatakan pada 2019 penjahat dunia maya menggunakan teknik baru untuk menghindari terdeksi.

"Penjahat semakin canggih," kata Gregory. "Semakin sulit bagi para korban membedakan yang asli dan palsu."

"Dengan cara yang sama, rekening bank dan akun online Anda mulai memerlukan otentikasi dua faktor - terapkan itu untuk hidup Anda. Verifikasi permintaan secara langsung atau melalui telepon, periksa ulang alamat web dan email, dan jangan ikuti tautan yang dilampirkan di pesan."

IC3 juga mengatakan bahwa Tim Pemulihan Aset (RAT) yang didirikan pada Februari 2018 mampu membantu para korban kejahatan dunia maya memulihkan dana yang hilang karena berbagai jenis kejahatan Internet.

"RAT, yang didirikan sebagai tim independen pada 2018, menyelesaikan tahun pertama operasinya pada 2019, membantu pemulihan lebih dari US$ 300 juta yang hilang melalui penipuan online, dengan tingkat pengembalian 79% dari kerugian yang dilaporkan," kata FBI.

Jenis kejahatan siber pada 2019 dengan total kerugian korban tertinggi yang dilaporkan berupa peretasan email bisnis dengan kerugian mencapai hampir US$ 1,8 miliar. Ini berdasarkan 23.775 pengaduan yang tercatat dengan menargetkan pembayaran transfer kawat baik perorangan maupun bisnis.

"Penipuan ini biasanya melibatkan kriminal spoofing atau meniru alamat email yang sah," laporan itu menjelaskan. "Misalnya, seorang individu akan menerima pesan yang tampaknya berasal dari seorang eksekutif dalam perusahaan mereka atau mitra bisnisnya, padahal sesungguhnya bukan.

"Email itu akan meminta pembayaran, transfer, atau pembelian kartu hadiah yang tampaknya sah tetapi sebenarnya menyalurkan uang langsung ke penjahat."

Selama 2019, IC3 mengamati peningkatan jumlah pengalihan uang gaji. Modusnya, penjahat berpura-pura sebagai karyawan (setelah mendapatkan informasi pribadinya), lalu mengirim email ke divisi SDM atau bagian keuangan perusahaan, dan meminta uang gajinya ditransfer ke rekening lain. Jika permintaan itu dipenuhi, gaji karyawan akan dikirim ke akun kartu prabayar yang dikendalikan oleh penjahat siber.

Di tahun yang sama, FBI menerima menerima 13.633 pengaduan dengan modus penipuan dari para korban yang tinggal di 48 negara bagian. Untuk kejahatan jenis ini, kerugian yang tercatat mencapai lebih dari US$ 54 juta, meningkat 40 persen dibanding tahun 2018. Para korban sebagian besar berusia lebih dari 60 tahun.

Pada 2019, IC3 juga menerima 2.047 keluhan terkait insiden ransomware, dengan kerugian lebih dari US$ 8,9 juta.

Asisten Direktur Divisi Cyber FBI Matt Gorham mengatakan, laporan tersebut memainkan peran penting bagi FBI dalam memahami kejahatan siber dan motifnya. Dengan begitu, dapat dilakukan upaya pencegahan. 

"Melalui upaya ini kami berharap dapat membangun lanskap dunia maya yang lebih aman dan lebih aman," kata Gorham seraya meminta organisasi bisnis atau individu yang menjadi korban untuk melaporkan ke FBI. 

Sejak awal Mei 2000, Divisi Cyber FBI telah menerima 4.883.231 pengaduan, dengan rata-rata sekitar 340.000 pengaduan per tahun dan lebih dari 1.200 pengaduan per hari dalam lima tahun terakhir.

Adapun sepanjang 2015 hingga 2019, total kerugian yang dilaporkan oleh korban kejahatan internet mencapai US$ 10,2 miliar atau setara Rp139,4 triliun.[]