OJK: Tanpa UU PDP, Industri P2P Lending Jadi Kotor
Jakarta, Cyberthreat.id - Deputi Direktur Pengaturan, Perizinan, dan Pengembangan Financial Technology (Fintech) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Munawar Kasan mengungkapkan bahwa OJK sangat memerlukan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP).
Data pribadi, kata dia, sangat penting untuk melakukan penilaian (scoring), kebutuhan penagihan dan keperluan lainnya oleh para pemain di industri fintech (Financial Technology) peer to peer (P2P) lending.
"Itu sebabnya data pribadi para pengguna harus dilindungi," kata Munawar kepada Cyberthreat.id di Jakarta, Senin (27 Januari 2020).
OJK mendorong RUU PDP untuk segera disahkan karena belum ada regulasi yang mengatur perlindungan data pribadi para pengguna. Pihaknya bakal memberlakukan aturan terkait penggunaan data pribadi untuk para pemain fintech.
"UU itu belum ada supaya teman-teman (fintech) tidak menyalahgunakan (data pribadi), makanya harus diatur. Kami ikut mengatur supaya tidak ada pelanggaran, tapi itu berlaku di industri yang kami awasi saja, seperti fintech," ujarnya.
Fintech peer to peer lending yang beroperasi di Indonesia hanya boleh mengakses tiga hal; kamera, mikrofon dan lokasi dari para peminjam (borrower). Sebab, sampai saat ini ketiganya masih mencukupi untuk melakukan penilaian pada fintech.
"Kontak nomor telepon tidak boleh, gambar tidak boleh. Karena itu merupakan data pribadi yang kuat, takutnya itu akan disalahgunakan," tegasnya.
Peraturan tersebut harus dipatuhi oleh para pemain fintech. Jika tidak, fintech bersangkutan bakal dikenakan sanksi berupa peringatan maupun pemblokiran oleh OJK.
"Yang tidak bisa memenuhi tenggat waktu penyelesaian, hanya boleh akses ketiganya (kamera, mikrofon, lokasi) kita sudah sanksi. Waktu itu kita sudah minta Kementrian Komunikasi dan Informatika untuk memblokir, sehingga sistem elektroniknya tidak bisa beroperasi."
Munawar menambahkan, pengguna yang menjadi korban dapat melakukan pengaduan ke seluruh asosiasi fintech di Indoensia. Pengguna juga bisa mengadu ke beberapa lembaga perlindungan konsumen, seperti YLKI.
"Itu akan ditindak lanjuti ke OJK dan akan kita proses. Industri ini sudah terkotori oleh kelakuan semacam itu, jadi OJK harus sangat tegas terhadap perilaku yang menyimpang. Industri yang bagus ini jangan sampai dirusak," tegas dia.
Pelaku Usaha Seenaknya
Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi mengatakan salah satu permasalahan dalam pinjaman online adalah akses nomor kontak pada ponsel penggunanya untuk melakukan teror dengan tujuan agar si peminjam membayar hutang-hutangnya.
"Intinya disini ada data pribadi. Perlindungan data pribadi masih rendah. Kita belum mempunyai UU Perlindungan Data Pribadi, sehingga pelaku usaha seenaknya saja. Fintech yang legal juga bermain," tutur dia.
Menurut Tulus, disamping melindungi data pribadi masyarakat di tanah air, UU ini juga akan melindungi pengguna dalam konteks perlindungan konsumen. Sejatinya, kata dia, perlindungan data pribadi adalah perlindungan terhadap konsumen.
"Kami mendorong UU PDP ini, memang sedang dalam proses. Ini dalam konteks perlindungan konsumen. Sebab tidak mungkin kita hanya menyalahkan konsumen saja."
Redaktur: Arif Rahman