GURU BESAR AI BINUS - WIDODO BUDIHARTO

Serangan Siber Kini Berbasis Teknologi AI

Prof Widodo Budiharto | Foto: Cyberthreat.id/Tenri Gobel

Jakarta, Cyberthreat.id – Guru besar kecerdasan buatan dari Universitas Bina Nusantara (Binus), Prof Widodo Budiharto, mengatakan, cepat atau lambat teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligecen/AI) bakal mengubah pekerjaan manusia.

Oleh karenanya, Indonesia harus segera mengadopsi AI dengan melihat perkembangan teknologi informasi yang ada saat ini. Namun, ia sadar bahwa belum banyak sumber daya manusia Tanah Air yang menguasai teknologi AI.

Kampus-kampus yang mengajarkan materi AI siap-pakai di industri juga masih sangat kurang. “Kalau generasi muda kita, para pengembang software dan hardware tidak bisa menampilkan AI di sistemnya, kita akan kalah dalam kompetisi,” kata Widodo.

Di sisi lain, menurut Widodo, AI juga memiliki ancaman. Selain menghilangkan pekerjaan manusia, teknologi AI juga dimanfaatkan para penjahat siber.

“AI pasti diterapkan juga oleh penyerang siber dan itu yang harus kita kuasai; tidak hanya harus menguasai teknologi sekuriti jaringan, tapi juga bagaimana memblokir paket-paket penyerang yang di dalamnya disisipkan teknologi AI,” kata dia.

AI pada dasarnya suatu konsep yang membuat komputer mampu belajar, merespons hingga mengerjakan perintah secara terstruktur layaknya manusia.

Berikut petikan wawancara Prof Widodo Budiharto saat ditemui wartawan Cyberthreat.id, Tenri Gobel dan Faisal Hafiz saat ditemui pada Senin (13 Januari 2020) di Universitas Binus, Jakarta Barat:

Bagaimana Anda melihat perkembangan AI di Indonesia?

AI sebenarnya sudah masuk lama di Indonesia karena hadirnya teknologi informasi. Saat ini, bisa dikatakan booming AI, karena di Indonesia banyak perusahaan dan startup harus bersaing, terutama di perbankan; itu banyak sekali teknologi AI yang diterapkan.

Di kampus ini, misalnya, sistem absensi (baca: presensi, red) nanti menerapkan berbasis wajah. Analisis student performance atau kegiatan kampus, kami pakai big data. Ada command centre-nya sehingga para pengambil keputusan bisa melihat data situasi saat ini yang diolah dari data analytic dan data visualization.

Apakah di Indonesia mendesak untuk mengadopsi AI?

Ini mendesak. Karena kita bersaing dengan produk-produk China dan teknologi yang dikembangkan oleh para developer negara lain. Kalau generasi muda kita, para pengembang software dan hardware tidak bisa menampilkan AI di sistemnya, kita akan kalah dalam kompetisi.

Sudah siapkah developer AI di Indonesia?

(Sumber daya manusia) yang menguasai belum banyak. Kampus-kampus yang mengajarkan AI yang siap (pakai) di industri masih kurang sekali. Kata kuncinya adalah kalau ingin menguasai AI di Indonesia, maka menguasai machine learning, big data, dan teknologi robotika.

Robotika itu bukan untuk menguasai masa sekarang, tapi untuk ke depan, 5-10 tahun lagi. Jadi, harus banyak orang, entah ambil kursus atau jurusan komputer sains, menguasai machine learning dan big data.

Robotika itu bagian AI, maka (ke depan Indonesia) harus mengembangkan produk-produk berbasis robotika.

Lalu, apa yang masih kurang?

SDM banyak. Kurikulum untuk memberikan materi AI yang memadai, itu masih kurang; (materi AI yang ada) masih dasar-dasar. Karena materi AI yang memadai itu cenderung susah; materi bisa dipelajari tersebar luas, tapi untuk dipelajari butuh expert yang mengajarkan.

Jadi, kalau startup seperti e-commerce berbasis AI membutuhkan banyak machine learning developer, data analyst, dan data scientist, mereka butuh banyak kemampuan pemograman, misalnya bahasa Python. Lalu, bahasa R untuk statistical computing, nah (SDM) itu masih langka.

Apakah pemerintah mendukung perkembangan AI ini?

Sudah ada. Kayak digital talent scholarship (dari Kementerian Kominfo) kemarin. Lalu, ada pelatihan untuk menguasai machine learning dengan Amazon Web Services (AWS) dan Kominfo. Tapi, tentu itu masih kurang.

Contoh, suatu perusahan menyebutkan ke saya mereka butuh 1.000 engineer dalam bidang machine learning. Itu belum bisa terpenuhi. Indonesia belum mampu memasok orang seperti itu, apalagi—kalaupun ada yang menguasai—di luar negeri banyak yang menerima (mereka). Jadi, ada (dari mereka) yang bekerja ke luar negeri.

Untuk perangkat AI apakah susah?

Enggak. Yang penting mereka mempelajari AI yang agak advance. Ya itu tadi, machine learning developer, yang bisa menguasai komputasi dan statistical computing.

Bagaimana kabar robot humanoid yang Anda rancang?

Riset AI memang butuh waktu yang lama karena pengembangan program dan hardware. Misalnya, untuk kategori robot tidak bisa berjalan sendiri, selain ada software juga ada hardware.

Kami, misalnya, sedang mengembangkan sistem robot yang berbicara dan merespons dalam bahasa Indonesia, yang bisa memperoleh knowledge atau pengetahuan dari data set atau big data yang ada.

Itu sedang kami kembangkan karena ke depan semua sistem pengambilan keputusan dan perbankan membutuhkan big data dan sistem robot.

Misal, teller berbentuk robot, pelayan rumah makan berbentuk robot, pasti akan ada di Indonesia. Sekarang tren paling sederhana, misalnya, pembersih lantai berbasis robot.

Apa yang harus disiapkan kalau begitu?

Yang perlu kita persiapkan dan antisipasi ke depan ini, AI diterapkan di semua bidang dan kita harus menguasai bidang AI tersebut.

Dua kata kuncinya: sistem harus terotomasi atau sistem yang harus efisien. Lulusan sarjana psikologi, enggak bisa modal ilmu psikologi saja, tapi nanti saat kerja harus melek teknologi, misal, bagaimana memberikan jasa, informasi, training, penanganan trauma pasien berbasiskan aplikasi yang dikembangkan dalam smartphone.

Tantangan adopsi AI di Indonesia?

Saya melihat tidak ada tantangan, sekali lagi materi gampang diperoleh, tidak membutuhkan perangkat tambahan. Handphone dan komputer standar bisa untuk mempelajari AI. Untuk skala besar, tentu membutuhkan komputer dengan kecepatan tinggi. Itu tidak terlalu bermasalah untuk orang yang ingin belajar AI.

Apakah AI menggantikan kerja manusia?

Iya, intinya itu ada dua: harus bisa menghasilkan sistem terotomatisasi dan efisiensi. Misal, sistem perbankan tidak perlu lagi pegawai yang menyortir pengajuan loan (pinjaman).

Sistem-sistem pabrik segala macam pada bagian tertentu kalau menggunakan tenaga kerja mungkin lebih boros dibandingkan menggunakan sistem cerdas robot.

Saya sudah membuat tulisan prediksi pada 2030-2040, bayangannya adalah banyak sekali pekerjaan yang tergantikan oleh sistem cerdas. Jadi, kita harus menciptakan bidang kerja baru yang berhubungan dengan berbagai macam jasa, tapi semua sentuhan AI.

Manusia terancam dong?

Beberapa bidang kerja sudah bisa digantikan dengan sistem AI. Jadi, manusia harus menciptakan bidang kerja baru, model-model kerja yang sifatnya inovasi dan kreatif. Pokoknya AI cenderung pada pekerjaan-pekerjaan repetitif atau mengulang, (pekerjaan seperti itu) pasti akan tergantikan (oleh AI) karena lebih murah dan efesien.

Tapi, pekerjaan desainer dan seni, AI belum mampu. Contoh, untuk mengajar kami membuat materi dalam (bentuk dokumen) Power Point. Ke depan, enggak hanya Power Point atau video, kita harus kembangkan materi digital content yang berbantukan virtual reality (VR).

Pada saat membuat aplikasi VR inilah (perlu) inovasi dan kreativitas, biar nanti materi yang diajarkan itu tersampaikan dengan baik. Itu berarti, orang dengan jurusan apa pun harus menguasai VR dalam hal pengembangan digital content.

Adakah kaitan AI dengan ancaman siber?

Serangan siber suatu jaringan atau institusi itu murni teknologi jaringan sekuriti yang dipakai, tapi kadang AI bisa dimanfaatkan untuk mendukung serangan tersebut.

(Serangan siber) murni tanpa AI bisa, tapi kalau lebih lanjut, misalnya, seorang hacker menyerang negara lain untuk menembus keamanan tingkat tinggi, AI itu butuh metode-metode tingkat tinggi. Agar menyusupnya tidak kelihatan atau kemampuan mengoptimalkan penghancurannya lebih optimal.

Bagaimana antisipasi serangan siber AI?

(Serangan siber) sudah mulai banyak menggunakan AI. Tapi, itu bisa diantisipasi dengan teknologi AI lagi.

Contoh, kalau kita belajar di komputasi intelijen, untuk mencegah penyusup yang tidak diizinkan, ada istilahnya sistem imun atau kekebalan. Kalau (sistem imun tadi) berbasiskan AI, ada istilah artificial immune system. Jadi, paket-paket yang tidak diizinkan akan ada peringatan dari sistem komputer tersebut.

AI pasti diterapkan juga oleh penyerang siber dan itu yang harus kita kuasai; tidak hanya harus menguasai teknologi sekuriti jaringan, tapi juga bagaimana memblokir paket-paket penyerang yang di dalamnya disisipkan teknologi AI.

Redaktur: Andi Nugroho