RUU KEAMANAN DAN KETAHANAN SIBER

Baleg DPR: Kelembagaan BSSN Perlu Diperkuat

RDP Baleg bersama BSSN membahas RUU Keamanan dan Ketahanan Siber

Jakarta, Cyberthreat.id – Ketua Badan Legislasi DPR, Supratman Andi Agtas, mengapresiasi positif terhadap masukan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) terkait dengan Rancangan Undang-undang Keamanan dan Ketahanan Siber.

“RDP ini kan baru masukan awal, tapi urgensi RUU ini adalah kita ingin meningkatkan kapasitas kelembagaan maupun kapasitas strutural BSSN,” kata Supratman usai Rapat Dengar Pendapat membahas RUU Keamanan dan Ketahanan Siber di Gedung Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (28/3/2019).

Kehadiran undang-undang tersebut, kata dia, sudah sangat diperlukan di tengah kemajuan teknologi informasi di era digital. Namun, Supratman mengingatkan, persoalan ke depan adalah bagaimana harmonisasi antara DPR selaku pengusul RUU bersama pemerintah.

“Ke depan, kami akan melihat masukan dari lembaga atau kementerian lain untuk lebih menyempurnakan. Pemerintah dan DPR punya saham 50-50 untuk penyelesaian RUU ini,” ujarnya.

Supratman meminta BSSN lebih aktif meyakinkan pemerintah dan lembaga terkait dengan urgensi kehadiran undang-undang tersebut. Fakta, sepanjang tahun 2018, Indonesia mengalami 229,4 juta serangan siber, menurut dia, cukup mengejutkan.

“Tadi disebutkan bahwa Indonesia ke depan bisa saja menghadapi ancaman kelumpuhan dari berbagai sektor seperti ekonomi, perbankan, pasar modal hingga listrik.”

Kepala BSSN Djoko Setiadi dalam paparannya menyampaikan delapan inventarisasi kebutuhan aturan dalam tata kelola keamanan siber. Yakni definisi dan pemahamam ancaman siber hingga peran BSSN sebagai regulator, administrator, konsolidator, dan investigator.

Termasuk tugas utama BSSN sesuai Perpres RI Nomor 53/2017 sebagaimana diubah Perpres Nomor 133/2017 tentang BSSN yakni melaksanakan keamanan siber secara efektif dan efisien.

“Kami berharap poin-poin yang telah disampaikan tadi bisa menjadi dasar masukan dan pendapat mengenai substansi keamanan siber,” kata Djoko.

Adapun terkait dengan UU Nomor 36/1999 tentang Telekomunikasi dan UU Nomor 19/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, kata dia, dinilai sudah tidak memadai dan tidak fokus. Djoko menyebut kedua UU tersebut memiliki fokus dan pengaturan yang berbeda.

“Jadi, RUU keamanan siber ini akan menjadi pelengkap sekaligus pranata cyber law di Indonesia ke depan,” ujarnya.