JPPR Kritik Keamanan Data Pemilih Sangat Rentan
Cyberthreat.id - Koordinator Nasional (Kornas) Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Alwan Ola Riantoby, mengatakan Indonesia jangan terburu-buru untuk bermimpi menerapkan e-Voting di dalam proses Pemilu atau Pilkada jika keamanan data pemilih masih rentan.
Data pemilih, kata dia, jika dibuka secara elektoral akan berpengaruh bagi kekuatan-kekuatan kelompok tertentu yang ingin merusak database pemilih. Kemudian data pemilih juga menjadi incaran peretasan sehingga aktor jahat bisa mengetahui peta pemilih di wilayah tertentu serta banyak kegunaan lainnya seperti retargetting di media sosial.
"Apalagi ke depan gagasan KPU membangun e-Voting sampai ke e-Rekap. Data pemilih ini yang akan jadi sumber masalah," kata Alwan usai diskusi di Jakarta, Senin (23 Desember 2019).
Alwan mengingatkan bahwa sistem keamanan data pemilih saat ini masih rendah dan begitu rentan. Data pemilih adalah data utama penduduk Indonesia yang terdiri dari NIK dan Nomor KK hingga data biometrik seperti sidik jari. Ia tidak heran jika misalnya ada pihak yang menyebut data pemilih Indonesia sudah bocor karena pengamanannya begitu serampangan.
"Maka KPU jangan bermimpi kita sampai ke e-Voting dan e-Rekap kalau sistem keamanan data masih sangat rendah."
"Oke, proses Pemilu kita akan lebih mudah dengan teknologi, tapi dalam konteks pengamanan data dan teknologinya kita harus siap dulu," ujarnya.
Edukasi Teknologi
Alwan juga mengkritik kualitas SDM Indonesia yang belum siap dalam teknologi Pemilu. Ia mencontohkan kasus Sistem Perhitungan Suara (Situng) di Pemilu 2019. Situng divonis Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) melanggar kode etik akibat sistemnya cacat dan bisa dimanipulasi manusia seperti salat input.
Masyarakat, kata dia, tidak ingin kejadian itu terulang di e-Rekap.
"Pendidikan politik dan pendidikan Pemilu soal teknologi. Lalu bagaimana pemanfaatan teknologi terutama yang paling penting pendataan kita. Mestinya harus dijamin dong. Bagaimana bisa kita menjamin Pemilu berkualitas kalau data pemilih saja belum terjamin kerahasiaan dan keamanannya."
Hingga saat ini Alwan juga belum mengetahui teknis e-Rekap yang akan digunakan sebagai penghitungan resmi di Pilkada 2020. Setidaknya 270 daerah yang akan menggelar Pilkada harus mendapatkan informasi yang jelas dan valid soal ini. Jangan sampai ada informasi simpang siur di masyarakat terkait hal ini.
"Sampai sejauh ini kita belum tahu teknis e-Rekap itu bagaimana. Prinsipnya e-Rekap mempercepat kayak Situng di Pemilu (2019) kemarin kan, tapi di tahapan mana akan dipotong, apakah dari TPS ke provinsi atau dari TPS langsung ke kabupaten/kota, itu kita belum tahu. Dan server-nya kita belum tahu juga."
Anggota Bawaslu RI Mochammad Afifuddin mengatakan akan mengintensifkan Bimbingan Teknis (Bimtek) bagi pengawas Pemilu hingga Panwascam yang nantinya berjumlah total 12.651 di 270 daerah Pilkada 2020.
Itu belum termasuk Satgas pencegahan pelanggaran Pilkada 2020. Satgas yang jumlahnya minimal satu orang di tiap daerah penyelenggara, nantinya dipimpin Bawaslu yang melibatkan para pegiat pemilu hingga akademisi di tiap kabupaten atau kota yang menggelar Pilkada.
"Karena ada beberapa hal yang peserta Pilkada, tim sukses, dan tim kampanye belum paham, tapi melanggar UU. Persoalan terkait pemahaman informasi, keamanan informasi itu peserta banyak yang enggak tahu," kata Afifuddin di Jakarta, Senin (23 Desember 2019).