Medsos Masih Termasuk Indeks Kerawanan Pilkada 2020

Diskusi bertajuk Konsolidasi Masyarakat Sipil dan Proyeksi Pemantauan Pilkada 2020 di Jakarta, Senin (23 Desember 2019) | Foto: Arif Rahman

Cyberthreat.id - Anggota Bawaslu RI Mochammad Afifuddin mengatakan media sosial masih menjadi kerawanan di Pilkada 2020. Kecepatan teknologi informasi, kata dia, dipakai untuk melakukan kampanye di media sosial yang merupakan salah satu elemen penting di era digital. Bawaslu akan merilis Indeks Kerawanan Pilkada akhir Januari 2020 nanti.

"Secara teknis Pemilu, peraturan kampanye itu salah satunya adalah cara kampanye di medsos. Itu nanti kita akan atur lebih detail dan kita belajar dari Pemilu (2019) dan Pilkada sebelumnya (2018)," kata Mochammad Afifuddin di sela diskusi tentang Pilkada 2020 di Jakarta, Senin (23 Desember 2019).

Ia menegaskan, yang diawasi di platform digital adalah konten kampanye atau lalu lintas informasi di media sosial, tetapi dalam penindakannya kerap terkendala dalam berbagai proses.

Sebagai contoh, kata dia, ketika terdapat akun-akun yang melanggar aturan kampanye lewat penyebaran hoaks dan kampanye hitam, maka Bawaslu harus aktif melakukan pengawasan.

Akan tetapi, ketika penindakan harus ada koordinasi dengan Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Sentra Gakkumdu) serta koordinasi dengan Kementerian Kominfo dan platform digital.

"Kami ingin takedown di awal, tapi untuk itu ternyata Facebook di Singapura yang takedown, kalau Facebook Indonesia enggak bisa (takedown). Nah, proses yang kelamaan itu, makanya terjadi takedown setelah pemilihan selesai. Artinya, isu sudah reda baru akun di-takedown," ujarnya.

Literasi Masyarakat

Ketua Komite Pemilih Indonesia (TePI) Jerry Sumampouw mengatakan lalu lintas informasi di medsos sifatnya cepat dan masif sementara proses penindakannya lambat. Di tengah proses itu muncul konflik yang mengganggu tahapan Pemilu atau Pilkada seperti terjadinya konflik dan kerusuhan.

Sifat media sosial, kata dia, barangnya ada, tetapi penindakannya susah. Apalagi medsos sudah menjadi ketergantungan publik yang jika dibatasi, maka ada pihak lain protes. Kemudian hoaks di media sosial juga telah tumbuh menjadi industri yang memutar uang cukup banyak.

Ini harus menjadi perhatian khusus di daerah-daerah yang menggelar Pilkada 2020.

"Dan memang kalau dilihat kasus sekarang itu, hoaks dan provokasi di medsos menimbulkan konflik horizontal. Kalau akun resmi bisa ditindak, tapi akun-akun anonim bagaimana," kata dia.

"Memang sulit soal medsos ini. Ketika negara mau menindak, kantor platformnya ada di Singapura. Jadi ada problem teknis, problem administrasi dan problem hukum."

Jerry menilai masyarakat harus mendapatkan literasi dan edukasi yang cukup mengenai aliran informasi di medsos. Terutama di 270 daerah yang menggelar Pilkada 2020. Bukan mustahil informasi di medsos akan menjadi pemicu konflik di beberapa daerah saat Pilkada berlangsung nanti.

"Edukasi dan literasi medsos itu harus dari sekarang. Jangan ketika tahapan Pilkada mulai baru edukasi, sudah telat. Istilahnya sosialisasi dan penguatan kapasitas masyarakat untuk melawan provokasi di media sosial harus lebih dini di 270 daerah itu," ujarnya.