Pemerintah Dinilai tak Serius Sidang Gugatan Blokir Internet

Ilustrasi | Foto: freepik.com

Jakarta, Cyberthreat.id – Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, Rabu (18 Desember 2019) melanjutkan persidangan gugatan hukum terhadap kebijakan pemerintah tentang pemblokiran akses internet di Papua dan Papua Barat pada 21 Agustus lalu.

Namun, Tim Pembela Kebebaran Pers—tim penggugat—menilai perwakilan pemerintah justru tidak siap dengan persidangan karena belum bisa berbicara di persidangan dengan alasan belum menerima surat kuasa dari pihak tergugat.

“Gugatan kemarin (baca: Rabu) berjalan dengan lumayan lancar, tapi kami anggap pihak pemerintah tidak cukup serius menghadapi gugatan karena masih meributkan soal surat kuasa, padahal seharusnya sudah masuk ke ranah persidangan,” ujar Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENet), Damar Juniarto dihubungi Cyberthreat.id , Kamis (19 Desember 2019).

Sidang kemarin dihadiri oleh perwakilan Tim Pembela Kebebaran Pers yakni LBH Pers, YLBHI, SAFENet, dan Aliansi Jurnalis Independen. Sementara, perwakilan pemerintah, dalam hal ini Presiden Joko Widodo diwakili dari bagian Kementerian Sekretariat Negara dan Kementerian Kominfo diwakili oleh Biro Hukum Kominfo.

Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang kedua tersebut, menurut Damar, perwakilan pemerintah juga tidak merespons permintaan hakim yaitu tidak memberikan aturan-aturan yang dijadikan rujukan dalam melakukan tindakan pemblokiran internet di Papua dan Papua Barat.

"Ini sangat disayangkan karena SAFEnet sebagai salah satu pihak penggugat menginginkan pihak tergugat siap menghadapi tuntutan yang diajukan atas tindakan pemadaman internet di Papua lalu,” ujar Damar.

“Seolah-olah ini perkara sepele, padahal ini menyangkut pengakuan hak-hak digital warga. Jelas-jelas pemadaman internet merenggut hak sipil dan merugikan secara ekonomi dan keamanan, maka seharusnya pemerintah berani mempertanggungjawabkan di depan persidangan," ia menambahkan.

Gugatan hukum tersebut telah terdaftar dengan nomor register 230/G/2019/PTUN-JKT di PTUN Jakarta pada 21 November lalu. Pihak penggugat terdiri atas AJI, SAFNet, LBH Pers, KontraS, YLBHI, ICJR, dan ELSAM, sedangkan pihak tergugat yaitu presiden dan Kementerian Kominfo.

Pihak penggugat meminta agar majelis hakim PTUN Jakarta menghukum para tergugat dan menuntut mereka meminta maaf secara terbuka kepada masyarakat Indonesia khususnya Papua dan Papua Barat atas kebijakan pemblokiran internet.

Alternatif pemblokiran

Menurut Damar, pemblokiran internet bukan satu-satunya jalan yang bisa dilakukan oleh pemerintah untuk melawan penyebaran hoaks atau berita palsu di media sosial.

Terkait dengan Papua dan Papua Barat, menurut dia, yang bisa dilakukan pemerintah adalah menemukan siapa penyebar hoaks yang menimbulkan konflik tersebut dan diadakan penegakkan hukum. Terlebih penetrasi internet di papua kurang dari tiga persen dan pengguna internet di Papua kebanyakan menggunakan operator Telkomsel. Seharusnya hal tersebut, kata dia, justru makin memudahkan aparat penegak hukum mengusut penyebar hoaks.

“Tinggal sekarang keseriusan dari aparat keamanan seberapa cepat bertindak. Apalagi sekarang nomor (seluler) itu sudah didaftarkan, dan rata-rata di Papua menggunakan operator Telkomsel. Jadi, seharusnya tidak susah untuk diidentifikasi,” kata Damar.

Menurut Damar, kekurangan pemerintah dalam kasus pemblokiran internet tersebut adalah tidak melakukan elaborasi yang baik dengan berbagai pihak untuk mengatasi persoalan hoaks, termasuk penyedia platform.

“Pemerintah saat ini sudah kerja sama dengan platform, bukan berarti mereka lepas tangan, tapi mereka juga aktif mengawasi konten yang menimbulkan ancaman bagi orang lain,” tutur dia.

Menurut dia, ada syarat yang mesti dipenuhi oleh pemerintah sebelum melakukan pemblokiran, yaitu penjelasan situasi sesungguhnya seberapa darurat dan harus ada pernyataan dari presiden jika situasi di Papua dan Papua Barat tersebut, ”sudah tidak bisa ditangani lagi dan membutuhkan jalan pembatasan,” ujar Damar.

Redaktur: Andi Nugroho