Teknologi AI Pendeteksi Emosi Perlu Aturan Hukum
Cyberthreat.id – Teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) yang dipakai untuk mendeteksi emosi harus diatur dalam sebuah undang-undang.
Demikian rekomendasi yang dikeluarkan AI Now Institute seperti dikutip dari BBC, Kamis (12 Desember 2019). Alasan AI Now Institute karena teknologi tersebut belum ditopang dasar hukum yang kuat meski sejauh ini belum ada bukti bahwa mesin bisa mengetahui perasaan seseorang.
Di sisi lain, teknologi tersebut telah berkembang pesat dan diperjualbelikan, terutama untuk membantu pencarian kerja, menguji pernyataan tersangka kejahatan, dan lain-lain.
Sementara itu, dikutip dari Technology Review, teknologi pendeteksi emosi bahkan bisa dipakai untuk mengenali perbedaan ras dan gender. Hal inilah AI Now Institute menyarankan pemerintah turun tangan melalui undang-undang.
Kekhwatiran lain, AI Now Institue menyebutkan dalam laporannya agar pemerintah dan bisnis untuk berhenti menggunakan teknologi pengenalan wajah untuk penggunaan sensitif sampai risiko yang ada telah dikaji dengan baik.
Lembaga yang bermarkas di New York, Amerika Serikat tersebut menginginkan agar perangkat lunak tersebut dilarang penggunaannya terkait dengan keputusan penting yang mempengaruhi kehidupan seseorang.
Saat ini penggunaan teknologi AI tersebut mengalami periode pertumbuhan yang sangat siginifikan dan diperkirakan bernilai US$ 20 miliar.
Co–founder AI Now Institute, Prof Kate Crawford, mengungkapkan teknologi pendeteksi emosi dengan menggunakan AI tersebut mengklaim dapat membaca keadaan emosi dengan menafsirkan ekspresi-mikro di wajah, nada suara, dan cara berjalan.
"Teknologi tersebut telah digunakan di mana-mana mulai merekrut karyawan yang sempurna, menilai rasa sakit pasien, bahkan untuk melacak siswa yang tampaknya memperhatikan atau tidak di kelas,” kata dia.
Pada saat yang sama ketika teknologi itu muncul di pasaran, menurut dia, sejumlah besar penelitian menunjukkan tidak ada bukti substansial bahwa orang memiliki hubungan yang konsisten antara emosi yang dirasakan dengan ekspresi wajah.
AI Now Institute lalu memberikan beberapa contoh perusahaan yang menjual produk pendeteksi emosi. Salah satunya, Oxygen Forensics yang menawarkan perangkat lunak pendeteksi emosi kepada kepolisian.
Menurut Chief Operating Officer Oxigen Forensics Lee Reiber, kemampuan untuk mendeteksi emosi, seperti kemarahan, stres, atau kegelisahan, yang ada pada teknologi itu akan memberikan wawasan tambahan kepada lembaga penegak hukum saat melakukan penyelidikan skala besar.
"Pada akhirnya, kami percaya bahwa aplikasi yang bertanggung jawab dari teknologi ini akan menjadi faktor dalam membuat dunia menjadi tempat yang lebih aman."
Contoh lain, HireVue, yang menjual alat berbasis video berbasis AI untuk merekomendasikan kandidat mana yang harus diwawancarai perusahaan. Menurut juru bicara HireVue, Kim Paone, teknologi tersebut diyakini menggunakan algoritma pihak ketiga untuk mendeteksi keterlibatan emosional dalam ekspresi mikro pelamar untuk membantu membuat keputusan.
"Banyak kandidat pekerjaan telah mendapat manfaat dari teknologi HireVue untuk membantu menghilangkan bias manusia yang sangat signifikan dalam proses perekrutan yang ada," ujar Paone.
Lalu, Cogito, yang telah mengembangkan algoritma analisis suara untuk staf call center. Menurut perusahaan, teknologi pendeteksi emosi yang dipakai membantu para staf call center mendeteksi ketika pelanggan mulai merasa tertekan.
"Sebelum deteksi emosi dapat membuat keputusan otomatis, industri membutuhkan lebih banyak bukti bahwa mesin sebenarnya dapat secara efektif dan konsisten mendeteksi emosi manusia," kata CEO Cogito Joshua Feast.
Emteq, salah satu perusahaan yang berbasis di Brighton, Inggris, juga mencoba mengintegrasikan teknologi pendeteksi emosi ke dalam headset realitas virtual. Pendiri Emteq, Charles Nduka, mengatakan sistem AI dapat mengenali ekspresi wajah yang berbeda.
"Misal, seseorang bisa mengerutkan alisnya bukan karena mereka marah, tetapi karena mereka berkonsentrasi atau matahari bersinar cerah dan mereka mencoba untuk melindungi mata mereka. Konteks adalah kuncinya, dan ini adalah apa yang Anda tidak bisa dapatkan hanya dari melihat pemetaan visi komputer dari wajah,” jelas Nduka.
Redaktur: Andi Nugroho