Waspada, 2020 Megabreach Bisa Marak di Indonesia

Ilustrasi

Cyberthreat.id - Country Manager Trend Micro Indonesia, Laksana Budiwiyono mengatakan, virus terbagi menjadi dua kelompok berdasarkan jumlah target yaitu massal dan targeted (ditargetkan). Menurut dia, virus yang menyerang secara massal dirasa kurang berbahaya dibandingkan virus yang bersifat targeted.

"Misalnya saya menyerang perusahaan A, kemudian saya kasih virus yang saya sendiri tidak tahu siapa yang terkena virus itu. Ini, biasanya levelnya masih iseng aja," kata Budiwiyono di Jakarta, (3 Desember 2019).

Menurut Budiwiyono, virus yang menyerang secara targeted sangat berbahaya. Karena biasanya para penjahat siber ini memeras para korbannya. 

"Sebenarnya semua penjahat siber ini kategorinya UUD (ujung-ujungnya duit). Biasanya mereka kalau gak ada duitnya tidak tertarik mereka untuk menyerang," kata dia.

Targeted, lanjut Budiwiyono, biasanya menargetkan perusahaan dengan keuntungan/laba yang besar. Sehingga, tingkat ancaman yang dilontarkan oleh para penjahat ini sangat tinggi.

"Biasanya kalau tidak menyerang dengan Ransomware, mereka mengancam untuk membocorkan data para karyawannya. Fenomena ini terjadi sekarang dan mungkin di 2020 akan meningkat persentasinya."

Ancaman Megabreach

Menurut data dari Trend Micro, tahun lalu telah terjadi kebocoran data yang sangat besar. Istilahnya, megabreach. Megabreach yang dimaksud adalah kebocoran data yang merugikan lebih dari satu juta data para penggunanya.

Budiwiyono mencontohkan, jika startup yang memiliki nilai valuasi lebih dari 1 miliar USD disebut unicorn. Maka, data yang bocor lebih dari 1 juta data pengguna disebut Megabreach. 

"Di Amerika sendiri sekitar 17 kali pernah mengalami megabreach pada tahun 2018. Megabreach di Indonesia juga kami prediksikan akan tumbuh pada 2020," ujar Budiwiyono.

Seperti yang diketahui, tahun lalu Facebook tersandung skandal Cambridge Analityca yang merupakan penyalahgunaan data terbesar di dunia. Lebih dari 87 juta data pengguna Facebook telah disalahgunakan untuk kepentingan kampanye pemilu presiden Amerika Serikat.

Sehingga, Komisi Perdagangan Federal AS (FTC) menjatuhkan sanksi ke Facebook atas kasus kebocoran data dan skandal Cambridge Analytica. FTC menjatuhkan denda sebesar 5 miliar dollar AS atau sekitar Rp 70 triliun.

Terkait dengan hal itu, Budiwiyono menjelaskan, bahwa diperlukannya aturan yang mengatur kebocoran data ini. Mengingat, Indonesia adalah negara yang salah satu paling banyak diserang oleh para peretas/hacker.

"Kalau dari RUU (KKS) sekilas saya lihat draftnya terkait dengan kebocoran data itu sudah ada konsekuensinya. Jadi, pelanggaran ini kena pinalti/sanksi dan RUU ini sedang digodok," ujar Budiwiyono.

"Karena serangan siber sekarang itu semakin kompleks. Dan jika, terjadi kebocoran data itu sangat merugikan para pengguna yang terkena dampaknya."