Data Pemilik Senjata Api Bocor, Peluang Emas Pelaku Kriminal
Cyberthreat.id - Program Buy-back senjata api yang dicanangkan pemerintah Selandia Baru berantakan gara-gara website yang ditunjuk menjalankan program tersebut mengalami kebocoran data.
Lebih dari 37 ribu data pemilik senjata api bocor yang mencakup rincian kontak lengkap, nomor lisensi senjata api dan rincian alamat bank. Masih ingat dengan aksi terorisme di Mesjid Christchurch di Selandia Baru beberapa waktu lalu, saat seorang pria menembaki jamaah mesjid dan menyiarkannya secara live di Facebook dan Instagram.
Program buy-back salah satunya ditujukan untuk mengumpulkan kembali senjata api berbahaya yang beredar di masyarakat.
Menteri Kepolisian Selandia Baru, Stuart Nash, diminta untuk mengundurkan diri. Pelanggaran itu diungkapkan oleh Dewan Pemilik Senjata Api Berlisensi (COLFO) Selandia Baru yang mengeluarkan pernyataan pada Sabtu (30 November 2019) pukul 12.23 waktu setempat.
COLFO dalam keterangan resminya mengatakan bahwa pihaknya mengetahui informasi mengenai 70 ribu notifikasi senjata api yang dapat diakses oleh pengguna di website buy-back.
Dua menit kemudian Kepolisian Selandia Baru merespons dengan mengeluarkan pernyataan telah mengetahui pelanggaran data dan langsung menutup situs tersebut.
"Oang-orang masuk ke sistem selama tiga jam sebelum Polisi menutupnya, dan tidak jelas berapa lama informasi tersebut tersedia untuk umum," demikian keterangan COLFO dilansir Computer World, Minggu (1 Desember 2019).
Sejauh ini data yang bocor mengungkapkan 37.125 data dan informasi pemilik senjata api. Dari jumlah itu, para pemilik senjata telah mendaftarkan 280 ribu senjata baru yang dilarang.
The Guardian melaporkan bahwa kekhawatiran lainnya akibat kebocoran data pemilik senjata api adalah bisa menimbulkan peluang atau semacam 'pasar belanja' bagi pelaku kriminal.
ACT Selandia Baru meminta pendaftar buy-back segara ditangguhkan dan website ditutup sementara waktu dengan melakukan evaluasi. ACT menilai program buy-back merupakan hasil dari kebijakan regulasi yang dibikin buru-buru.
“Pelanggaran data ini adalah hasil tak terhindarkan dari undang-undang yang dibuat hanya dalam sembilan hari," kata pemimpin ACT David Seymour.
Juru bicara kepolisian Partai Nasional, Brett Hudson, mengatakan bukan kali ini saja Pemerintah mengalami kebocoran data. Ia menyebutkan setidaknya beberapa infrastruktur kritis Pemerintah pernah mengalami kebocoran data mulai dari Departemen Keuangan dan Komisi Perdagangan,
"Kemarin ada pelanggaran di Kementerian Kebudayaan dan Warisan (NZTA) tempat informasi tentang anak-anak diakses; staf di NZTA berisiko mengalami pencurian identitas pribadi setelah drive USB yang berisi kartu identitas staf hilang," ujarnya.