Ini 10 Poin Usulan Kominfo dalam RUU Penyiaran
Bogor, Cyberthreat.id- Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) memastikan draft Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran akan disahkan menjadi Undang-Undang (UU) pada 2020. Pasalnya, draft RUU Penyiaran telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) periode 2019-2024.
Direktur Penyiaran Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika Kominfo Geryantika Kurnia mengatakan, RUU Penyiaran merupakan inisiatif dari DPR dan telah dimasukan dalam Prolegnas.
“Proses pembahasannnya cenderung lebih cepat, karena hanya membutuhkan satu DIM dari pemerintah. Apalagi sudah masuk dalam Prolegnas. Jadi, bisa dipastikan, tahun depan RUU Penyiaran sudah bisa disahkan menjadi UU,” kata Geryantika dalam acara kumpul media bersama Kominfo di Bogor, Senin, (25 November 2019).
Menurut Geryantika, wacana revisi UU Penyiaran sebenarnya sudah mencuat sejak 2007, untuk merevisi UU penyiaran nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran. Wacana tersebut kemudian dilanjutkan, dan dimasukan dalam Prolegnas dua masa kerja DPR, yaitu peridoe 2009-2014, dan 2014-2019. Namun, hingga kini wacana revsi UU tersebut tidak pernah direalisasikan.
“Tadi, kita sudah ketemu Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemkumham), dan sudah kita bicarkan mengenai revisi UU. Jadi, di Kemkominfo itu ada RUU penyiaran dan RUU Perlindungan Data Pribadi (PDP) yang masuk dalam prolegnas periode ini. Kita harapkan RUU Penyiaran bisa segera disahkan menjadi UU pada 2020,” ujar Geryantika.
Geryantika juga menuturkan, terdapat 10 poin utama yang diusulkan Kemkominfo dalam RUU Penyiaran. Pertama, digitalisasi penyiaran televisi teresterial dan penetapan batas akhir penggunaan teknologi analog (Analog Switch Off/ASO). Untuk proses digitalisasi ini, ditargetkan selesai paling lambat 2022.
Kedua, penguatan LPP TVRI dan LPP RRI dengan pembentukan Radio Televisi Republik Indonesia. Ketiga, kewenangan atributif antara pemerintah dan Komisi Penyiaran Indonesia.
Keempat, penguatan organisasi Komisi Penyiaran Indonesia. Kelima, Penghasilan Negara Bukan Pajak (PNBP) penyelenggara penyiaran dan kewajiban pelayanan universal dalam bentuk 0% pendapatan kotor (gross revenue).
Keenam, simplikasi klasifikasi perijinan jasa penyiaran berdasarkan refrensi international. Ketujuh, penyebarluasan infromasi penting dari sumber resmi pemerintah.
Kedelapan, pemanfaatan kemajuan teknologi bidang penyiaran. Kesembilan, penyediaan akses penyiaran untuk keperluan khalayak difabel. Kesepuluh, penyelenggaraan penyiaran dalam bentuk force majereu.
“Kami harapkan 10 poin usulan ini dapat diterima DPR, sehingga pembahasan mengenai RUU Penyiaran bisa segera disahkan menjadi UU, dan akan menjadi pegangan bersama,” jelas Geryantika.
Di sisi lain, Geryantika juga menuturkan, ketika siaran anolog telah beralih ke digital, pemerintah tidak akan membuka slot kanal siaran baru. Hal itu, untuk menjaga iklim persaingan industri penyiaran agar tetap sehat.
Oleh karena itu, pihaknya terus mendorong peralihan siaran analog ke digital atau ASO. Rencananya pada 2022, semua siaran analog telah beralih ke digital.
Pasalnya, peralihan dari analog ke digital membuat penggunaan pita frekuensi di 700 MHz, makin hemat dan menyisakan banyak slot kosong. Saat analog, umumnya pita selebar 8 MHz hanya digunakan untuk satu kanal.
Ketika beralih ke digital pita sebesar 8 MHz dapat digunakan oleh 13 kanal, sehingga melahirkan digital deviden sebesar 122 MHz ketika ASO terjadi.
“Sehingga, frekuensi-frekuensi tersebut bisa dimanfaatkan untuk broadband, kebencanan, pendidikan dan lain-lain. Itu yang disebut digital devident. Kita terus dorong supaya, ASO bisa segera dilakukan,” ungkap Geryantika.