Kebijakan Frekuensi BWA Diminta Transparan dan Akuntabel

Diskusi bertajuk Konektivitas dan Optimalisasi Pemanfaatan Frekuensi di Jakarta, Selasa (12 November 2019)

Cyberthreat.id - Pengamat kebijakan pajak dan Direktur Eksekutif CITA, Yustinus Prastowo, mengatakan Kementerian Komunikasi dan Informatika selama ini belum maksimal dalam melakukan pengembangan teknologi Broadband Wireless Acces (BWA) atau akses nirkabel pita lebar.

Selama ini, kata dia, Indonesia berhadapan dengan buruknya kondisi pemanfaatan BWA. Operator BWA berguguran satu per satu, hingga akhirnya sampai dengan tahun 2019 hanya tersisa 3 Operator, yaitu Berca, Telkom dan Indosat M2 yang juga tidak maksimal.

"Sektor PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) terkena dampak langsung," kata Yustinus dalam diskusi bertajuk Konektivitas dan Optimalisasi Pemanfaatan Frekuensi di Jakarta, Selasa (12 November 2019).

Ia menuturkan, selama sepuluh tahun terakhir usia perizinan BWA, Kominfo hanya memperoleh 72 persen dari target PNBP BWA atau sekitar Rp 4.1 triliun.

Jumlah itu jauh lebih kecil nilainya jika dibandingkan dengan pendapatan 2300 MHz yang diterima dari alokasi perizinan bagi penyelenggara jaringan bergerak seluler yang mencapai 100 persen, yaitu dari Smartfren (sejak tahun 2014) senilai Rp 2.4 triliun dan dari Telkomsel (sejak tahun 2017) sekitar Rp 4 triliun (termasuk Up Front Fee).

"Harus ada review kebijakan telekomunikasi yang transparan dan akuntabel dalam perizinan berikutnya. Dipetakan ulang, dibikin skala prioritas, mana yang penting dan mana yang urgent karena targetnya kan mengungkit ekonomi digital," ujar dia.

Proses perizinan BWA yang lama berakhir November 2019. Artinya akan ada lelang perizinan baru untuk BWA 2300 – 2360 MHz yang saat ini disebut under-used.

"Kontrak baru nanti harus dibuat menguntungkan secara nasional karena selama ini ada yang sudah pegang lisensi tapi enggak dikerjakan, sementara orang lain enggak bisa masuk."

Dampak buruk lain yang dirasakan Indonesia adalah hilangnya kesempatan penciptaan lapangan kerja; gagalnya penguatan UMKM dan pertumbuhan startup/bisnis aplikasi kelas dunia; buruknya konektivitas dan menurunnya pengembangan industri telekomunikasi domestik.

Pengamat Komunikasi dan Telekomunikasi Universitas Gadjah Mada (UGM) Kuskridho Dodi Ambardhi mengatakan negara harus menjamin adanya layanan internet berkecepatan tinggi secara merata di seluruh daerah.

Akses data/internet, kata dia, sudah berkembang menjadi kebutuhan dasar/primer bagi warga negara dan menjadi bagian langsung kehidupan masyarakat. Kominfo perlu mempersiapkan penataan ulang pita frekuensi dengan mempertimbangkan agenda prioritas Presiden Jokowi dalam pengembangan startup nasional, ekonom digital dan SDM Unggul.

"Lelang frekuensi BWA perlu mempertimbangkan operator yang terbukti berkomitmen membangun pemanfaatan frekuensi broadband secara optimal, efektif dan efisien," ujarnya.

Pengamat kebijakan publik dari The Prakarsa, Ah Maftuchan, mengatakan optimalisasi frekuensi dapat menciptakan ketersediaan tarif akses internet yang terjangkau/murah.

"Agar frekuensi tidak menjadi ‘lahan tidur’ karena dikuasai oleh operator tetapi tidak dimanfaatkan. Ini yang harus dihindari ke depan," ujarnya.