BSSN: Waspada Serangan Siber yang Menyasar Pikiran

Juru bicara BSSN yang juga Direktur Proteksi Ekonomi Digital, Anton Setiyawan, saat memaparkan materi Kampanye Literasi Keamanan Siber (KLiKS) di Kuta, Bali, Sabtu (19 Oktober 2019)

Cyberthreat.id - Juru bicara Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Anton Setiyawan, mengatakan salah satu ancaman siber yang paling nyata adalah ancaman yang menyasar pola pikir masyarakat. Serangan terhadap pikiran manusia, kata dia, terjadi dalam bentuk hasutan maupun ujaran kebencian melalui ruang siber.

"Ancaman siber yang paling berbahaya adalah yang menyasar pola pikir, berupa hasutan maupun ujaran kebencian," kata Anton di sesi diskusi Kampanye Literasi Keamanan Siber (KLiKS) di Kuta, Bali, Sabtu (19 Oktober 2019).

Anton menuturkan, contoh serangan siber yang menyasar pikiran masyarakat terjadi saat demonstrasi yang melibatkan pelajar lewat aksi di Gedung DPR RI beberapa waktu lalu.

Ketika itu media sosial dipenuhi provokasi dengan tagar #STMMelawan sementara jaringan percakapan pribadi seperti WhatsApp dibanjiri gelombang disinformasi yang menyasar puluhan juta pengguna. Tujuannya merusak pikiran, menimbulkan konflik dan sebagainya.

"Beberapa waktu lalu semua siswa (STM) turun ke jalan. Ketika diperiksa pihak Kepolisian, mereka bahkan tidak tahu demo tentang apa," ungkap Anton.

Anton berpesan di hadapan 1300 peserta yang hadir untuk lebih bijak, menjaga sopan santun, toleransi dan saling menghormati satu sama lain terutama dalam mengakses ruang siber. Tanggung jawab menangkal hasutan maupun ujaran kebencian justru lebih efektif jika dimulai dari diri sendiri dan kehidupan keluarga.

"Semua pihak harus menjaga sopan santun, rasa toleransi dan saling menghormati satu sama lain baik di dunia nyata maupun di dunia siber," ujar Anton yang juga merupakan Direktur Proteksi Proteksi Ekonomi Digital BSSN.

Dosen Fakultas Informatika dan Komputer Institut Teknologi dan Bisnis STIKOM Bali, Ni Ketut Dwi Ari Jayanti, mengatakan keluarga adalah benteng utama dalam melakukan literasi dan edukasi digital.

Menurut dia, ketika keluarga gagal mengatasi kebiasaan mengakses konten negatif di usia dini, kondisi itu memungkinkan seseorang memiliki kebiasaan buruk saat dewasa.

"Sebuah kekhawatiran, kebiasaan jelek di dunia nyata menjadi hal yang biasa di dunia maya, akhirnya menjadi hal yang biasa di dunia nyata, apalagi dilakukan ketika masih anak-anak”, ungkap Ni Ketut.

Ia mengingatkan, banyaknya konten negatif yang saat ini masuk ke otak atau pikiran anak-anak berupa gelombang Disinformasi sangat merusak. Konten tersebut, kata dia, masuk bukan dalam jumlah satu atau dua, tapi ratusan ribu hingga jutaan.

"Tips agar anak aman saat mengakses dunia maya adalah kenali situs dan aplikasi yang aman sesuai usianya. Ajarkan anak untuk melindungi privasi, sedangkan untuk orang tua usahakan ikut terlibat dengan dunia online anak, atur mesin pencari, dan buat aturan antara orang tua dan anak."