Revisi PP PSTE Lemahkan Kontrol Indonesia Terhadap Data
Cyberthreat.id - Ketua umum Masyarakat Telematika Indonesia (MASTEL) Kristiono mengatakan revisi Peraturan Pemerintah nomor 82 tahun 2012 (PP PSTE) melemahkan posisi Indonesia dalam mengontrol data.
Data, kata dia, adalah komoditi baru yang menjadi kunci ekonomi digital sehingga diperlukan kehadiran negara dalam mengaturnya.
"Revisi PP 82/2012 seharusnya bukan melemahkan posisi indonesia, tapi harus mampu menguatkan dan meneguhkan kedaulatan negara dalam melindungi semua jenis data yang dimiliki bangsa dan rakyat indonesia karena data adalah the new oil," kata Kristiono di Jakarta, Kamis (18 Oktober 2019).
Sebelumnya Presiden Joko Widodo dikabarkan telah menandatangani revisi PP no 82 tahun 2019 yang salah satu pasalnya menimbulkan kontroversi. Pasal 21 ayat (1) di revisi PP no 82/2012 menyatakan Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat berhak memproses dan menyimpan data di luar wilayah Indonesia.
Kristiono mengatakan lemahnya kontrol negara terhadap data akan membuat kedaulatan data Indonesia diobok-obok orang lain. Data pada masa depan akan bernilai seperti minyak bumi yang bakal menopang pembangunan dan pertumbuhan ekonomi digital.
"Ketiadaan regulasi dan kebijakan yang dapat melindungi kekayaan nasional (data) dimaksud berakibat terlepasnya kesempatan kita membangun kekuatan dan kedaulatan digital ekonomi Indonesia," ujar Kristiono.
Ketua Asosiasi Cloud Computing Indonesia (ACCI), Alex Budiyanto, mengatakan Revisi PP no 82 tahun 2012 membuat Palapa Ring yang baru saja diresmikan Presiden Joko Widodo justru memfasilitasi asing mengambil dan mengeruk kekayaan data Indonesia.
Koneksi internet Indonesia yang semakin lancar dan merata, ditambah bertambahnya pengguna internet membuat kekayaan data semakin berlipat-lipat. Investor digital raksasa berlomba-lomba masuk ke Indonesia karena mengetahui potensi kekayaan data tersebut.
Sementara negara tidak memiliki kontrol ketika data ketika diolah, dikumpulkan dan boleh ditempatkan di negara lain yang regulasinya tentu saja berbeda.
"Kita harus melindungi data sebagai sebuah kekayaan negara," kata dia.