Deepfake, Ancaman Siber yang Bisa Memecah Belah Bangsa

Wajah-wajah berikut ini adalah contoh hasil dari teknologi deepfake dan mereka tidaklah nyata. | Foto: Progressive GAN

Jakarta, Cyberthreat.id – Teknologi deepfake akhir-akhir ini berkembang kian canggih. Manipulasi video dan audio begitu halus dan tampak makin “nyata dan asli”.

Pemerintah Negara Bagian California beberapa hari lalu telah meneken rancangan undang-undang pelarangan penggunaan teknologi deepfake untuk isu politik dan pornografi.

Tampaknya baru California yang dengan cepat merespons fenomena hoaks berbasis deepfake dengan membuat undang-undang. Saatnya negara-negara di dunia merespons kerawanan dan ancaman deepfake ini, tak terkecuali Indonesia.

Menanggapi fenomena itu, Ketua Indonesia Cyber Securty Forum (ICSF) Ardi Sutedja menilai Indonesia saat ini terlihat belum punya perhatian terhadap isu deepfake.


Berita Terkait:


Jika belum ada kejadian besar yang berkaitan dengan deepfake , “Tentu kita tidak akan memiliki regulasi semacam itu. Padahal di AS saja sudah punya regulasi terkait itu karena mereka tahu ini berbahaya,” ujar Ardi kepada Cybertrheat.id di Jakarta, Rabu (9 Oktober 2019).

“Video deepfake ini yang banyak tersebar adalah berkaitan dengan politik dan pornografi. Di Indonesia mungkin pernah ada kejadian, tapi tidak banyak yang tahu. Jadi, ya kita menganggap ini barang baru,” tutur Ardi.

Ardi menambahkan deepfake bisa menjadi salah satu ancaman siber pada saat pemilu dan konten yang berkaitan dengan pornografi. Jika tidak diperhatikan secara serius, ini bisa menjadi suatu alat untuk memecah belah bangsa.


Berita Terkait:


“Bayangkan saja, misal, di sebuah video kita bicara A lalu ketika itu diedit jadinya bicara B, jelas maksudnya beda kan? Nah ini yang bisa menjadi bahaya jika tidak teliti,” kata dia.

Istilah deepfake berasal dari kombinasi kata "deep learning" dan "fake". Perangkat lunak berbasis AI ini dapat mengganti wajah satu subjek (sumber) ke video lain (target). Teknik ini menerapkan muka seseorang yang bisa "ditempel" ke tubuh orang lain, layaknya mengedit foto biasa, pada sebuah video.

Semakin banyak kumpulan data yang dimiliki, semakin mudah bagi si pemalsu untuk membuat video deepfake yang “bisa dipercaya publik”.

Redaktur: Andi Nugroho