Ini Tips Penggunaan Teknologi AI
Jakarta, Cyberthreat.id- Dewasa ini, penggunaaan teknologi artificial intelligence (AI) oleh berbagai perusahaan masih banyak diwarnai dengan sentimen skeptis. Lantaran AI belum dianggap benar-benar memberikan imbal hasil yang baik dan relatif cepat.
Namun, kehadiran teknologi AI, sebenarnya mampu mengelola kompleksitas, menciptakan efisiensi dan juga skalabilitas perusahaan.
Hal itu, disampaikan oleh Direktur Regional Indonesia & Filipina, Insider, Joe Harahap, dalam acara cara konferensi Tech in Asia 2019 di JCC Senayan, Jakarta, Rabu, (9 Oktober 2019).
Dalam kesempatan tersebut, Joe membagikan tips bagaimana perusahaan atau enterprenur bisa memantau penjualan dan pendapatan mereka.
Di sesi ini, Joe menceritakan bagaimana Insider membangun produk berbasis AI, yang kemudian menghasilkan pundi-pundi pendapatan bagi perusahaan.
Joe juga mengakui, dalam perjalanannya, Insider menghadapi berbagai tantangan sekaligus peluang, yang bisa jadi menginsiprasi perusahaan lain yang sedang mempertimbangkan untuk mengintegrasikan AI atau bahkan mulai membuat produk AI mereka sendiri.
“Bagi saya, penggunaan AI itu untuk mengatasi dua problem utama yang kerap dihadapi perusahaan, yakni kompleksitas dan skalabilitas. Penggunaan AI sangat membantu dalam menganalisa data-data tersebut, dan lebih jauh membantu para pengiklan memproduksi pemasaran yang lebih tersegmentasi dan targeted. Tim punya keterbatasan saat menghadapi data dalam jumlah yang begitu melimpah,” kata Joe.
Joe menambahkan, pihaknya menggunakan AI untuk menciptakan segmentasi atau audience terprediksi, serta melakukan persuasi lebih advanced. Dengan AI, perusahaan bisa melakukan prediksi. Misalnya, menentukan pengguna yang sekiranya akan melakukan pembelian dalam 7 hari ke depan, atau melakukan uninstall aplikasi dalam 7 hari ke depan.
“Platform kami dipersenjatai AI dan Machine Learning (ML) dan didesain khusus untuk memecahkan masalah yang kerap dihadapi para pengiklan, mulai dari optimalisasi Return on Ad Spend (ROAS), mendorong konversi dan meningkatkan kualitas product discovery serta menghasilkan insights yang bisa meningkatkan program personalisasi para pengiklan,” jelas Joe.
Menurut Joe, saat dibandingkan, performa dari kampanye menggunakan segmentasi atau audience terprediksi cenderung mengungguli kampanye yang dilakukan tanpa bantuan AI. Adanya kemampuan prediktif yang dihasilkan AI membuat pengiklan bisa melakukan program preventif ketimbang reaktif. Misalnya, mencegah terjadinya uninstall aplikasi atau penurunan pengguna.
Namun, investasi pada AI bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan. Setidaknya ada beberapa langkah yang bisa dipertimbangkan saat hendak mengadopsi AI.
Pertama, tentukan playground atau masalah yang hendak dipecahkan perusahaan. Apakah itu bisa diselesaikan lewat AI? Karena tidak selamanya AI baik untuk semua jenis industri dan solusi.
“Bisa saja, sebulan atau satu setengah tahun setelah perusahaan mengadopsi AI, namun belum juga menemukan data yang terkurasi dan sesuai dengan kebutuhan atau problem yang hendak diselesaikan di awal,” ungkap Joe.
Kedua,mengingat investasi AI terbilang tinggi, ada baiknya perusahaan mempertimbangkan untuk berpartner dengan mitra lain yang memiliki resource atau tim yang jauh lebih menguasai teknologi AI.
Kecuali jika perusahaan kebanyakan modal dan ingin mencoba-coba mengembangkan produk berbasis AI sendiri. Karena saat berbicara soal RoI atau monetisasi AI, sangat jarang yang memonetisasi AI llewat produk AI langsung, melainkan lewat efisiensi operasional yang dihasilkan lewat AI.
“Karena tidak jarang AI juga bisa menjadi boomerang. Sama hal nya ketika kami bicara modeling segmentasi audience terprediksi untuk industri otomotif misalnya, yang keputusan pembelian dilakukan dalam jangka 3 hingga 4 minggu, tentu modelling yang kami punya saat ini tidak relevan dan kami akan lebih memilih menggunakan modelling AI dari pihak luar,” ucap Joe.