Menkominfo Harap Usai Pilpres Hoaks Menurun
Jakarta, Cyberthreat.id – Tren penyebaran informasi hoaks selama Pemilu Serentak 2019 meningkat tajam. Berdasarkan catatan Kementerian Komunikasi dan Informatika, sejak Agustus 2018 hingga 25 April 2019 teridentifikasi sebanyak 1.645 konten hoaks.
Sepanjang masa kampanye Capres-Cawapres sejak Agustus 2018, Kementerian Kominfo telah mengais konten hoaks yang ditujukan kepada Calon Presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto.
Hoaks tentang kedua capres, terhitung sejak masa kampanye awal di bulan Agustus 2018 sampai April 2019 ditemukan berjumlah 341.
"Terakhir bulan April meningkat, padahal udah lewat capresnya itu (hari pencoblosan), tapi hoaks masih saja terjadi lebih kepada capresnya," kata Menteri Rudiantara seperti dikutip dari situs web Kominfo, Minggu (28/4/2019).
Menurut Rudiantara, motif hoaks yang dilakukan kepada kedua capres berbeda-beda. Bahkan, momentumnya lebih dikaitkan dengan jiwa kepemimpinan. Sementara hoaks yang ditujukan kepada cawapres KH. Ma'ruf Amin maupun Sandiaga Uno, nyaris nihil.
Jelang waktu penghitungan suara dan pengumuman secara resmi dari KPU, pada tanggal 22 Mei 2019, Rudiantara berharap masyarakat tidak lagi menyebarkan hoaks.
“Saya berharap sebetulnya setelah pilpres, jumlah hoaks menurun, tapi perkiraan saya justru bulan April ini lebih tinggi,” ucap Rudiantara.
MEDIA SOSIAL
Perusahaan media sosial, seperti Twitter, YouTube dan Facebook kini mulai mengambil tindakan pencegahan untuk menghilangkan konten menyesatkan yang diunggah oleh para penggunanya.
Misalnya, Facebook telah berkolaborasi dengan pengecek fakta untuk mengeluarkan konten yang tidak pantas. Twitter juga telah menarget apa yang disebut bot, yakni akun otomatis yang menyebarkan kebohongan. Sementara, YouTube sedang berusaha mengubah algoritmanya untuk mempersulit upaya menemukan video yang bermasalah.
Ada sementara pihak yang mengatakan bahwa semua upaya itu tidak cukup, termasuk Sylvia Garcia dari Komite Kehakiman Kongres Amerika.
"Apa yang telah Anda lakukan untuk memastikan bahwa secara global semua orang bisa mengenali peringatan, mengetahui kata-kata kunci, frasa, hal-hal yang ditanggapi orang, sehingga kita dapat lebih responsif dan proaktif dalam memblokir konten dengan indikasi semua itu?" kata Sylvia kepada Neil Potts, Direktur Kebijakan Publik Facebook seperti dikutip dari VOA Indonesia, Minggu (28/4/2019).
Mendapatkan pertanyaan itu, Neil Potts, Direktur Kebijakan Publik Facebook, menuturkan, saat ini telah mempekerjakan 30.000 orang yang berfokus pada keselamatan dan keamanan.
“Kami mempekerjakan akademisi dan orang-orang dari masyarakat sipil dan dengan latar belakang hak asasi manusia yang benar-benar terjun dan menangani bidang itu. Kami memang menggunakan banyak otomatisasi dan kecerdasan buatan untuk membantu memunculkan, dan melakukan analisis data," kata Potts.