Fenomena Buzzer di Medsos Matikan Kepakaran

Ilustrasi | Foto: freepik.com

Jakarta, Cyberthreat.id - Media sosial telah menjadi bagian kehidupan masyarakat digital saat ini. Ada manfaat positif, tapi tak sedikit pula medsos justru menjerumuskan pengguna.

Kebebasan ekspresi yang menjadi dasar pemanfaatan medsos telah berkembang luas tak terkendali. Bahkan, banjir misinformasi atau hoaks yang terorganisasi di medsos diyakini oleh sebagian orang telah sebagai "kebenaran" tersendiri.

Istilah "buzzer" menjadi fenomena sosial yang paling mengemuka sejak Pilkada DKI Jakarta 2012. Fenomena para pasukan medsos itu berlanjut hingga Pemilu 2019.

Buzzer di media sosial tersebut disinggung dalam bedah buku berjudul "Politik Sirkulasi Budaya Pop" karya Wahyudi Akmaliah di Jakarta, Senin (16 September 2019).

"Tumbuhnya medsos internet memunculkan figur-figur baru micro-celebrity, inilah buzzer. Kemudian, mengakibatkan sejumlah orang dalam ahli tertentu kemudian tenggelam di tengah kuatnya media sosial," kata Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Wahyudi Akmaliyah.

Menurut Wahyudi, buzzer itu laksana selebritas dengan memiliki pengikut yang banyak. Setiap unggahannya di medsos lebih diperhatikan pengikutnya. Parahnya, lanjut dia, dengan kedalaman kompetensi buzzer yang kurang justru pendapatnya lebih banyak dipercaya publik daripada pemikiran para pakar yang derajat keilmuannya lebih tinggi.

Sementara para pakar, kata Wahyudi, biasanya kurang aktif di media sosial dan tidak populer karena kesibukannya. Ketika para ahli menuliskan pendapat, biasanya bukan lewat medsos tetapi dalam jurnal, opini di media dan semacamnya.

Hal itu, lanjut dia, berbeda dengan unggahan buzzer yang sifatnya memiliki kedekatan dengan pengikutnya karena ada interaksi langsung. "Orang yang punya follower'banyak itu jauh lebih didengarkan," jelas dia.

Atas fenomena itu, Wahyudi mengajak para pakar, peneliti, dan akademisi untuk juga aktif di media sosial guna mengimbangi dampak sosial dari buzzer.

Menulis dalam dunia dalam jaringan (daring/online), kata dia, dapat mencegah kepunahan pakar di tengah tumbuhnya para buzzer yang bicara banyak isu tanpa pengetahuan mendalam.

"Akademisi penting untuk terlibat di media dunia sosial. Kehadiran mereka di medsos penting untuk jadi penyeimbang. Perlu juga bagi akademisi memiliki ketekunan meladeni interaksi para follower-nya," terang Wahyudi seperti dikutip dari Antaranews.com.