Waspada Ancaman Serangan Siber dari ISIS dan Al-Qaeda
London, Cyberthreat.id - CEO Digital Barriers, Zak Doffman, memperingatkan setiap negara untuk senantiasa melakukan update teknologi cyber dan meningkatkan kewaspadaan. Doffman menemukan ancaman baru perang siber ke depan yang bisa dilakukan jaringan teroris seperti ISIS dan Al-Qaeda.
"Kita perlu memperluas pikiran dan pola pikir terhadap masalah ini," kata Zak Doffman dilansir Forbes, Jumat (13 September 2019).
Selama ini banyak lembaga/institusi negara yang menganggap sebagian besar ancaman di dunia maya menargetkan fasilitas militer, infrastruktur kritis dan target komersial/finansial dikembangkan oleh kelompok Advanced Persistent Threat (APT).
APT biasanya bersekutu dan didanai oleh badan-badan negara lain, tetapi tidak terikat ke negara tersebut. China dan Rusia kerap melakukan hal seperti ini. Namun, di lapisan kedua, menurut Zak, negara-negara yang bisa melakukan serangan siber adalah Iran dan Korea Utara.
"Bagaimana jika al-Qaeda atau ISIS mampu membekali diri dengan kemampuan serangan siber atau mendapatkan layanan dari kelompok seperti APT, maka infrastruktur kritis dapat menghadapi risiko," ujarnya.
Negara-negara Barat, kata Zak, lebih banyak fokus kepada ancaman siber dari Rusia, China, Iran dan Korea Utara. Ia mencontohkan jika sebuah kota mengalami mati listrik dalam jangka waktu yang lama.
Menurut dia, kecil kemungkinan serangan untuk mematikan listrik dilakukan Rusia, China, Iran dan Korea Utara, tapi bagi ISIS dan Al-Qaeda sangat mungkin.
"Kita sedang berada dalam perang Hybrid dimana aktivitas serangan siber dilakukan diam-diam, kemudian berdampak luar biasa ke fisik. Kita belum pernah melihat integrasi antara siber dengan fisik sebelumnya."
Iran menargetkan sektor korporasi Amerika Serikat (AS) yang begitu luas di berbagai negara. Juni lalu pasukan siber Iran menargetkan sistem Microsoft Outlook yang belum ditambal (patch). Serangan dilancarkan Iran dua pekan setelah US Cyber Command menyerang struktur komando dan kontrol siber Iran.