OPINI

Masa Depan Jurnalistik dan Kecerdasan Buatan

Ilustrasi | Foto: freepik.com

HOAKS atau kabar palsu adalah momok bagi dunia jurnalistik.

Sekalinya media massa memamah hoaks, keliru memberitakan, tanpa ada kerja verifikasi, nasib jurnalistik berada di ujung tanduk!

Di era media sosial atau layanan jejaring sosial, semua kabar bisa menjadi viral dan media massa ikut-ikutan melahapnya; turut serta agar semoga dibaca orang, teori ini adakalanya benar, tapi bisa pula berubah menjadi blunder.

Musuh terbesar media massa saat ini bukan sesama media massa, melainkan media sosial. Di era saat inilah kerja jurnalistik menuntut “kebaruan”, juga perlu membawa serta gelombang disrupsi; gaya konservatif jurnalistik tempo dulu perlu diramu dan dipadu dengan gaya baru.

Meski begitu, patokan utama tetap: cek dan ricek serta validasi data.

Semakin mudahnya orang bisa “menciptakan” berita dengan berbagai platform (YouTube, Twitter, Facebook, Blog, Instagram, dan WhatsApp), tanpa memiliki dasar-dasar jurnalistik, menyebabkan bah informasi. Siapa yang tak tahu Atta Halilintar, YouTuber dengan follower terbanyak di Asia Tenggara. Apa yang dibuatnya menjadi “informasi menarik” bagi publik.

Banjir informasi itu sayangnya cenderung sensasional dan jatuh pada “kesengajaan menciptakan imej” serta bagi sebagian orang atau komunitas atau kelompok tertentu untuk “menciptakan kebohongan” karena alasan politik atau bisnis semata. Orang-orang atau komunitas tertentu yang sepaham dan setuju dengan “kabar ciptaan” itu akan memiliki semangat militan yang menggebu-gebu. Di media sosial, mereka inilah yang kemudian dikenal dengan buzzer atau pasukan siber.

“Kabar ciptaan” tak beda jauh dengan propaganda. Fungsinya adalah membentuk paradigma, merusak pola pikir, mempengaruhi cara berpikir, dan ujung-ujungnya adalah memecah belah. Hasutan demi hasutan yang sebetulnya keliru, tercipta sebagai kebenaran bagi kelompok atau komunitas tersebut. Alhasil, laporan jurnalistik atau investigasi yang berbeda dengan keyakinan mereka langsung dicap sebagai “berita pesanan”.

Bahkan, terkadang ada sebagian orang atau perusahaan atau pejabat pemerintah yang gampang sekali membantah sebuah laporan jurnalistik dengan cukup dua kata: itu hoaks!

Hoaks pun berubah menjadi tameng baru untuk menurunkan wibawa laporan jurnalis. Padahal, pemerintah pun bisa membuat “hoaks”. Kejadian stempel hoaks pada twit pengacara Veronica Koman soal isu Papua yang dilakuan oleh Kementerian Kominfo adalah satu contoh hoaks pemerintah. Alhasil, Kominfo minta maaf.

Orang-orang bisa tak lagi percaya pada laporan jurnalistik. Orang-orang sudah semakin “pintar” dan cenderung berpikir “konspiratif” ketimbang verifikatif. Orang-orang menuding media massa telah berkongkalikong dengan penguasa dan pengiklan atau pemodal. Sebab, kata mereka, media telah bisa dibeli dengan uang. Tidak ada kebenaran di media massa, sebab media sosial telah menunjukkan “sesuatu yang lain daripada yang lain” yang dianggap sebagai “kebenaran”.

Di situlah, jurnalistik menemui jalan buntu. Jika Tom Nichols, profesor Akademi Perang Angkatan Laut AS dan Harvard Extension School, mengarang buku “The Death of Expertise” (Matinya Kepakaran), maka nasib pers pun seperti itu: “Matinya Jurnalistik”.

Lalu, apalagi yang mau diharapkan dari jurnalis dan laporannya jika orang-orang tak lagi percaya pada media massa?

Dulu, orang-orang enggan berjualan di Bukalapak dan Tokopedia, atau bahkan cukup membeli saja tak mau. Alasannya, bagaimana jika itu penipuan? Membeli offline lebih tepercaya, kata mereka, karena bisa memilih barangnya dan, tentu saja, keyakinan tidak akan terkena kibul-kibul dari pedagang online yang tak pernah diketahui wujudnya.

Lima tahun terakhir semua itu berbalik drastis. Dua pemain pasar daring (marketplace) itu kini telah menjadi unicorn. Orang-orang berbelanja di keduanya juga pasar daring serupa lainnya. Nilai ekonomi digital menyumbang miliaran rupiah ke negara.

Begitulah, media massa juga harus berubah, harus memiliki inovasi di era teknologi informasi. Di era digital, validasi data harus benar-benar ketat.

Ketika orang-orang membaca artikel yang autentik, kita bukan hanya memberikan kebaikan, melainkan pula telah mewariskan jejak digital yang sahih—ini menjadi sesuatu yang tak ternilai harganya ketimbang kita menaruh riwayat di mesin pencari tentang sesuatu yang bodong bagi anak-anak dan cucu kita.


Blogger, Vlogger atau YouTuber adalah "profesi" masa kini yang digandrungi generasi milienial. Merkea bisa memproduksi konten atau informasi menurut standar masing-masing bukan standar jurnalistik. Jurnalis berkompetisi dengan mereka, bertaruh informasi di publik: mana yang disukai dan dipercaya. | Foto: freepik.com


Kecerdasan buatan

Perusahaan teknologi kini telah menggunakan kecerdasan buatan (artificial intellegence/AI). Munculnya Siri, Alexa, dan Google Assistant membantu kita dalam mencari sesuatu melalui smartphone. Mereka bisa diprorgram sesuai permintaan, mereka bisa menarik informasi sesuai pengaturan algoritma.

Sudah saatnya media massa juga mengadopsi teknologi AI. Jika semua orang menggunakan AI untuk mengecek fakta, berita dan data palsu dapat dihilangkan secara permanen dari situs berita online.

Ide penggunaan teknologi AI itu pun mulai diadopsi. Pusat Jurnalisme Eropa (European Journalism Centre/EJC) kini menggandeng perusahaan rintisan (startup) AI, Diffbot. Perusahaan asal Menlo Park, California, Amerika Serikat ini diberi mandat untuk memerangi berita palsu.

Diffbot adalah satu-satunya perusahaan AS selain Microsoft dan Google yang merayapi dan mengindeks seluruh web untuk membuat Grafik Pengetahuan Diffbot (Diffbot Knowledge Graph/DKG). Dengan begitu, para jurnalis dapat mengakses DKG melalui platform “Jurnalisme Data” yang dibuat oleh EJC untuk menyediakan sumber daya, materi, kursus online, dan forum komunitas untuk jurnalis data di seluruh dunia.

Kemitraan itu memberikan akses gratis ke basis data DKG lebih dari 1 triliun fakta dan 10 miliar entitas yang bersumber dari web kepada lebih dari 9.000 anggota jurnalis dari EJC.

Basis data AI yang dikuratori dan terstruktur itu berisi semua pengetahuan yang tersedia untuk umum. Jurnalis yang haus akan data dapat memeriksa sumber dan mengidentifikasi koneksi antara orang, tempat, benda, dan entitas lain dengan mudah—tidak seperti gaya konvensional yang memakan waktu berhari-hari atau berbulan-bulan.

Karena semua informasi bersumber dari online, alat ini tidak memiliki bias manusia dan diklaim akurat. Jurnalis dapat menggunakan DKG untuk mencari semua informasi publik di web dan mengidentifikasi koneksi antarentitas yang berbeda.

Satu kekuatan dari Diffbot kemampuannya yang dengan cepat menelusuri entitas yang diminta. “Ini seperti cawan suci pembelajaran mesin, menangkap semua pengetahuan dunia di satu tempat,” kata Pendiri Diffbot, Mike Tung.

Diffbot membangun DKG menggunakan kombinasi pembelajaran mesin, visi komputer, dan pemrosesan bahasa alami. AI memungkinkan tim untuk memahami peristiwa pada skala makro dan mengakses pengetahuan dan data tentang orang, tempat, organisasi, artikel, produk, dan diskusi di web.

Namun, namanya mesin pasti ada kekurangannya. Diffbot pun sempat dikritik. Kritik itu menyangkut bahwa DKG tak mencantumkan atribusi dan menghilangkan sumber informasi yang saling bertentangan. Namun, Tung beralasan bahwa pendekatan AI yang dipakai adalah “membunuh dua burung dengan satu batu”.

“Skala kami sedemikian rupa sehingga ada potensi minimal untuk kesalahan. Kami akan bertaruh bisnis atas itu," kata Tung yang meluncurkan perusahaannya pada 2008.

Memang tak ada gading yang tak retak. Namun, upaya  Diffbot akan terus berjalan menuju ke arah ideal. Terlebih kehidupan kita saat ini begitu bergantung pada dunia digital. Informasi-informasi yang kita baca dan kita dapatkan, semua itu dari online. Mau tak mau, di dunia inilah kerja AI dibutuhkan untuk memverifikasi.

Di satu sisi, dokumen fisik dan kerja wawancara juga masih menjadi kekuatan utama kerja seorang jurnalis. Teknologi, seperti halnya kecerdasan buatan, adalah penyokong dan pendamping kerja jurnalis agar menghasilkan laporan yang sahih.

Jika setiap pembaca memiliki akses terhadap informasi seperti itu, atau minimal jurnalis memberikan kabar berbasis data valid, pembaca tentunya akan lebih rileks dan penuh keyakinan, bahwa apa yang dibacanya tiap waktu—bukan lagi membaca tiap pagi dengan teh dan koran pagi—di layar smartphone di masa depan adalah sesuatu yang memang benar. Begitu.