Aktivis: Blokir Internet di Daerah Konflik Perlu Dasar Hukum
Jakarta, Cyberthreat.id – Sejumlah aktivis mengkritik pemblokiran internet di daerah konflik yang dilakukan pemerintah, seperti yang terjadi di Papua dan Papua Barat. Pemblokiran tersebut dinilai belum memiliki landasan hukum kuat.
Jaringan internet seluler di kedua provinsi tersebut diputus oleh pemerintah sejak 19 Agustus hingga kini, meski sebagian wilayah mulai berangsur pulih. Pemerintah beralasan pemblokiran tersebut lantaran penyebaran hoaks begitu tinggi dan bersifat memecah belah bangsa.
Direktur Eksekutif Jaringan Kebebasan Berekspresi Asia Tenggara (SAFENet), Damar Juniarto, mengatakan, pembatasan akses informasi bisa dilakukan asal memiliki aturan hukum yang kuat. Menurut dia, jika hanya mengikuti peraturan menteri saja hal tersebut belum cukup kuat.
“Jika ingin melakukan pembatasan, harus ada kaitan sesuai dengan hukum, ada kepentingan negara, ada kaitannya dengan reputasi seseorang, dan berkaitan erat dengan perlindungan dari keamanan nasional dan ketertiban umum,” ujar Damar dalam sebuah diskusi di Jakarta, Selasa (3 September 2019).
Berita Terkait:
- Pemerintah Blokir Internet Seluler di Papua, Ini Alasannya
- Menkominfo Sebut URL Penyebar Hoaks Papua dari 20 Negara
- Blokir Internet Papua, Ombudsman Panggil Rudiantara
Tak hanya itu, sebelum melakukan pembatasan, kata dia, pemerintah harus melalui sebuah uji tiga rangkai.
Pertama, harus diperhatikan apakah betul upaya pembatasan informasi tersebut sudah diatur dalam undang undang. Kedua, unsur di dalamnya mengandung upaya menghargai hak reputasi seseorang dan nasional dan ketiga, apakah pembatasan tersebut penting atau tidak jika dikaitkan dengan ketahanan dan keamanan nasional.
Pemblokiran atau pembatasan akses informasi sudah menjadi tren di dunia. Damar mengatakan, salah satu negara yang sering melakukan pemblokiran adalah India, yaitu sebanyak 154 kali, disusul Pakistan sebanyak 19 kali.
Secara internasional, tren pemblokiran selama beberapa tahun berturut-turut semakin meningkat sejak 2016. “Pemerintah Indonesia bisa belajar dari India yang sudah sering melakukan blokir dan dinilai cukup efektif untuk meredakan konflik,” kata dia.
Berita Terkait:
- Demo Papua, Kominfo Bantah Blokir Telepon dan SMS
- Hoaks Politik Memanfaatkan Data Digital, Ini Ciri-cirinya
Di sisi lain, kata dia, ada catatan penting dari pemblokiran internet berkaca pada 22-25 Mei lalu di Jakarta, yaitu kerugian secara ekonomi.
“Kita mengalami kerugian yang cukup besar karena 66 persen transaksi jual beli menggunakan sosial media melalui Whatsapp, Facebook, dan Instagram. Kemudian 16 persen melalui platform e-commerce,” ujar Damar.
Damar mengatakan, seharusnya pemerintah belajar dari yang lalu, di mana pemblokiran ternyata tidak memiliki efek apa pun terhadap penyebaran hoaks di media sosial. Justru, kata dia, memunculkan tren baru yakni penggunaan VPN untuk mengatasi pembatasan tersebut.
“Tren blokir saat ini menunjukkan suatu pola. Ini bisa membuktikan kalau pemblokiran akan bisa terjadi lagi jika terjadi konflik yang serupa,” ujar Damar.
Redaktur: Andi Nugroho