Gara-gara Medsos Teman, Pemuda Palestina Ini Ditolak AS
Boston, Cyberthreat.id – Ismail B Ajjawi, mahasiswa baru Universitas Harvard, dinterograsi berjam-jam di Bandara Intrnasional Logan, Boston, Massachusetts, Amerika Serikat, Selasa (27 Agustus 2019).
Di saat sebagian besar temannya menetap di asrama, pemuda Palestina yang tinggal di Libanon itu harus menelan pil pahit karena petugas imigrasi AS menolak visanya dan mendeportasi pemuda 17 tahun itu. Ia pun terpaksa pulang ke Tyre, Libanon, padahal perkuliahan akan dimulai 3 September mendatang.
Sebelum menolak visanya, petugas imigrasi memeriksa seluruh barang bawaannya, termasuk menggeledah telepon pintarnya dan laptopnya, demikian seperti dikutip dari The Harvard Crimson,yang diakses Kamis (29 Agustus).
Universitas Harvard pun langsung turun tangan untuk menyelesaikan masalah tersebut sebelum masa perkuliahan dimulai. Juru bicara Harvard Jonathan L Swain dalam email mengatakan, universitas telah mengontak keluarga Ismail dan otoritas terkait untuk menyelesaikan masalah tersebut. Ia berharap Ismail bisa segera bergabung dengan mahasiswa baru lainnya.
Harvard pun membantu secara hukum dengan menerjunkan pengacara di Kantor Penasihat Umum dan staf Kantor Internasionl Harvard.
Ismail juga mengatakan telah mengontak AMIDEAST, organisasi nirlaba yang memberinya beasiswa untuk belajar di AS. Organisasi itu pun turut memberi bantuan hukum kepadanya.
Pejabat Departemen Luar Negeri menolak berkomentar tentang masalah tersebut karena catatan visa dirahasiakan atas nama hukum. Juru bicara Bea Cukai dan Perlindungan Perbatasan AS (CBP) Michael S McCarthy dalam sebuah pernyataan mengatakan, Ajjawi tidak dapat diterima di AS berdasarkan informasi yang ditemukan selama integorasi tim CPB.
Status Politik di Akun Medsos Temannya
Ismail mengatakan, telah diperiksa delapan jam di Boston sebelum dirinya diminta pergi. Saat tiba di bandara, ia dibanjiri pertanyaan dari pejabat imigrasi (bukan CBP) bersama sejumlah mahasiswa baru lainnya.
Di saat mahasiswa lain dibolehkan pergi, ia ditanya oleh petugas imigrasi soal agama dan praktik keagamaannya di Libanon. Petugas itu kemudian meminta dirinya untuk membuka ponsel pintar dan laptopnya. Ada sekitar lima jam petugas menggeledah kedua benda tersebut. Setelah itu, petugas itu menanyai tentang aktivitas media sosial teman-temannya.
"Setiap kali saya minta ponsel saya dikembalikan agar saya dapat memberi tahu mereka tentang situasinya, petugas itu menolak dan menyuruh saya duduk kembali dan diam,” kata Ismail.
“Setelah lima jam berakhir, dia memanggilku ke sebuah ruangan, dan dia mulai berteriak padaku. Dia mengatakan bahwa dia menemukan orang-orang mem-posting sudut pandang politik yang menentang AS di daftar teman saya."
Ismail membantah bahwa dirinya mengunggah konten politik. "Saya tidak punya satu pun unggahan di timeline yang membahas politik," kata dia. Ia juga mengatakan, tak seharusnya dirinya bertanggung jawab atas unggahan orang lain.
"Saya menjawab bahwa saya tidak punya urusan dengan unggahan seperti itu dan bahwa saya tidak suka, berbagi atau mengomentariny,” kata dia.
Setelah kejadian itu, petugas kemudian membatalkan visa sembari memberitahu bahwa Ismail akan dideportasi, serta mengizinkan Ismail menelepon orangtuanya.
Meski situasi yang dialami Ismail jarang terjadi di kalangan mahasiswa sarjana Harvard, pada 2017 empat mahasiswa pascasarjana menghadapi masalah yang sama. Mereka akhirnya boleh masuk ke AS setelah berminggu-minggu di perbatasan karena universitas juga memintanya untuk tidak meninggalkan AS.
Pada Juli lalu, Presiden Universitas Harvard Lawrence S. Bacow sempat menyinggung masalah keimigrasian tersebut. Ia menulis sepucuk surat kepada Sekretaris Negara Amerika Serikat Mike Pompeo dan penjabat Sekretaris Keamanan Dalam Negeri AS Kevin K. McAleenan.
Intinya, ia mengaku prihatin yang mendalam tentang pendekatan pemerintah federal terhadap kebijakan imigrasi.